Hujan baru saja reda. Genangan air terlihat di sudut-sudut jalan. Bias cahaya matahari membentur setitik dua titik air hujan yang masih turun dari langit, membentuk lukisan langit yang begitu indah. Rembesan air di dedaunan pun ikut meramaikan suasana, memberikan sebuah potret kehidupan yang begitu damai. Hujan, inilah rahmat yang baru saja diberikan oleh Sang Khaliq.
Kuturunkan lipatan celana yang sejak tadi kusingsingkan. Kurapikan seluruh peralatan yang ada di tubuhku. Aku tidak mau berlama-lama di sini, di tempat perteduhan ini. Hujan telah reda. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku hari ini, batinku. Sambil melangkah pergi, kuambil lipatan kertas yang ada di dalam tasku.
“Ya Allah…”, desahku pelan sembari menatap selembar kertas yang ada di tangan. Kuteliti semua tulisan yang ada di atasnya. Ada setitik air menetes tepat mengenai kata yang baru saja kucermati, membentuk sebuah titik hitam yang agak buram karena telah berbaur dengan tinta komputer. Walaupun begitu, aku masih dapat membaca tulisan yang telah ditulis dengan huruf besar itu…MUHAMMAD ILYAS. Surat mohon kesediaan untuk menjadi mentor. Aku baru saja mendapatkannya dari Fadli, salah satu temanku di Lembaga Dakwah.
Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah yakin, aku pasti kembali terpilih menjadi mentor untuk mahasiswa-mahasiswi baru. Hal ini disebabkan karena tahun lalu, aku terpilih menjadi mentor terbaik. Alhamdulillah.
Aku melirik jam tangan yang terasa sangat longgar di tanganku ini. Waktu telah menunjukkan 11.35 siang. Seperti apa yang tertera di surat tadi, hari ini seluruh mentor yang telah dipilih, diharapkan kedatangannya ke Pusat Pengembangan Islam (PPI) Universitas pada jam 15.00. Para pengurus PPI akan memberikan penjelasan tentang mentoring.
Setelah shalat ashar, aku langsung menuju PPI Universitas. Beberapa orang telah berkumpul di sana. Beberapa orang di antaranya telah aku kenali, sisanya adalah muka-muka baru.
“Ilyas!” suara itu jelas terdengar di gendang telingaku. Aku menoleh ke belakang.
“Ahmad!” Balasku seraya memberikan senyum termanisku. Ia berjalan cepat menuju tempatku berdiri. Beberapa saat kemudian, kami saling berpelukan.
“Kaifa haluka, ya Akhi?[1] Sudah lama kita tidak bertemu…Sejak mentoring tahun lalu,” ia membuka perbincangan. Tangannya masih menjabati tanganku. Ia menepuk-nepuk bahuku.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Kamu benar, ya Akhi…Kita tidak pernah bertemu sejak mentoring tahun lalu. Tapi, komunikasi tidak pernah putus. Bahkan, sesekali kita saling memberikan nasehat melalui SMS. Allah memberikan kemudahan kepada manusia dalam bersilaturrahmi,” jawabku. Kulihat Ahmad dengan seksama. Pemuda berperawakan kurus ini memang tidak satu fakultas denganku. Kami mengikuti Lembaga Dakwah di Fakultas masing-masing. Mungkin karena kesibukan, kami memang tidak pernah bertemu lagi sejak mentoring tahun lalu. Kini Allah mempertemukan kami kembali.
“Asykurullah….aku senang sekali bisa kembali bertemu denganmu, mentor terbaik tahun lalu kan…hehe….,” ucapnya. Pernyataan itu sempat membuatku jadi salah tingkah. Sekejap kemudian ia tertawa. Tanpa terasa aku juga ikut tertawa, terbawa suasana yang begitu renyah.
Satu persatu mentor-mentor yang telah dipilih berdatangan. Mereka saling berjabat tangan. Tali silaturrahmi bersambung di antara sesama mujahid. Senang rasanya bisa bertemu saudara-saudaranya yang sama-sama berjuang di jalan Allah.
Beberapa saat kemudian, kami telah berkumpul di satu tempat. Ada sekitar lima puluh orang lebih. Berimbang antara mentor wanita dan laki-laki dengan tempat yang dipisahkan. Hampir sama dengan jumlah mentor pada tahun lalu.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Seorang laki-laki berperawakan sedang mengucapkan salam kepada kami, para calon mentor. Ia berdiri tepat di hadapan kami semua. Kegaduhan pun terhenti. Tak ada yang berbicara lagi. Semuanya hening. Ia mengamati kami dengan seksama. Semuanya tak lepas dari pandangannya. Ustadz Syairazi, beliau adalah Pimpinan PPI. Sosok yang begitu kharismatik. Semua orang menghormatinya, bahkan Rektor Universitas sekalipun. Pikirku, mungkin karena terlalu sulit untuk menemukan sosok pemimpin religius sepadan dengan Ustadz Syairazi, maka tak aneh kalau beliau masih diamanahi untuk menjadi pimpinan PPI sejak tiga tahun yang lalu.
Setelah sedikit Iftitah dan basi-basi, ia pun memulai inti pembicaraannya. “Seperti yang kita ketahui bersama, setiap mahasiswa baru yang masuk di kampus ini, harus mengikuti mentoring. Hal ini bertujuan untuk membantu mereka berproses menjadi dewasa. Anda akan membantu mereka untuk menjadi lebih tanggap dalam menghadapi masalah. Dewasa di sini tidak hanya dalam arti bertambah usia dan bertambah pengetahuan. Tetapi, dewasa di sini mempunyai arti yang lebih luas, yaitu dewasa dalam bergaul, menyikapi masalah, mengambil keputusan, belajar untuk mengenali diri sendiri, dan lain sebagainya.” Beliau berhenti sejenak sembari membetulkan letak kaca matanya yang melorot sedikit.
“Satu hal yang menjadi fokus kita adalah bagaimana kita bisa membentuk karakter dan kepribadian yang berorientasi pada “Syakhsiyyah Islamiyyah”[2]. Mentoring adalah salah satu sarana. Ia bisa dijadikan metode dalam memahami islam. Kalian harus bisa membantu adik-adik kalian. Jadikanlah mereka generasi unggulan dan sukses dalam perjuangannya menegakkan islam. Angkat dan bina potensi besar mereka.” jelas Ustadz Syairazi. Tepuk tangan membahana seantero ruangan.
Hampir setengah jam, Ustadz Syairazi memberikan ceramah. Bulu kuduk kami merinding. Ceramah yang begitu memukau. Semangat kami terus dipompa. Beliau menginginkan kami untuk memberikan bimbingan yang terbaik. Tak lupa juga beliau memberikan gambaran bagaimana keadaaan penganut Islam pada zaman modern ini, khususnya para pemuda-pemudinya. Sangat jauh dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di akhir pernyataan, beliau meminta kami untuk membantu pihak universitas dalam membentuk karakter mahasiswa-mahasiswi baru. Semoga dengan mentoring ini, kami bisa beramal jariyah. Kami bisa menyampaikan ilmu-ilmu yang berguna, sehingga mereka bisa mengamalkannya untuk bangsa, negara, dan agama.
“Ya Allah…aghitsna fii nasyri dinika al-islam[3]…,” ucapku lirih.
* * *
Ba’da shalat ashar, aku duduk bersimpuh di salah satu sudut masjid kampus. Kulafazhkan asma Allah dengan khusuk. Kuserapi maknanya ke dalam jiwa. Uh…betapa damainya hati ini ketika berada di rumah-Mu, ya Allah. Inikah nikmat iman yang Kau sebut-sebut itu…Subhanallah.
Selang beberapa lama kemudian, aku menuntaskan dzikir sore. Kuusapkan tanganku ke muka pertanda aku telah selesai berdoa. Alhamdulillah, batinku. Kali ini kuselonjorkan kakiku untuk menghilangkan penat. Kugerak-gerakkan badanku ke kiri dan ke kanan untuk menghilangkan rasa kaku.
Biasanya setelah dzikir sore, aku bersegera ke luar masjid untuk melanjutkan aktivitasku. Tapi, saat ini aku tetap berdiam diri karena mentoring akan dimulai pada hari ini, dan bertempat di masjid kampus. Kurang lebih sama seperti tahun lalu.
Aku mengambil absensi yang ada di dalam tasku. Kucermati nama-nama yang tertulis di dalamnya. Dua puluh mahasiswa berada di bawah bimbinganku. Jumlahnya lebih sedikit dari mahasiswa bimbinganku pada tahun sebelumnya, dua puluh lima orang. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Di dalam hati aku berdoa, mudah-mudahan aku bisa membimbing mereka dengan benar. Amin.
Jam 15.30, mentoring telah dimulai. Di beberapa titik di dalam masjid, beberapa mahasiswa telah membuat lingkaran bersama mentor mereka masing-masing. Untuk mentoring mahasiswi dilaksanakan di masjid lantai dua.
Memang ada beberapa mahasiswa menghampiriku. Tapi, mereka hanya ingin bertanya di mana mentor mereka. Dengan senyum merekah, kuberitahu mereka di mana mentor mereka berada. Aku senang dengan antusias mereka dalam mengikuti mentoring ini. Mudah-mudahan ini akan terus berlanjut sampai selesainya kegiatan ini.
Akhirnya, satu persatu mahasiswa bimbinganku berdatangan. Sebelumnya, mereka memastikan dulu, apakah benar aku adalah Kak Ilyas. Sangat lumrah, karena mereka masih belum mengenalku. Mereka juga pasti belum mengenal teman-teman sekelompoknya.
Jam 15.45, semuanya telah berkumpul. Kuamati mereka satu persatu. Kuperhatikan gerak-gerik mereka. Layaknya mahasiswa baru yang masih ‘kekanak-kanakan’, mereka benar-benar terlihat belum dewasa. Di sinilah peranan para murabbi dalam mengembangkan cara berpikir mereka. Mereka sekarang telah menjadi mahasiswa, artinya mereka harus bersikap selayaknya seorang mahasiswa. Mereka bukan anak kecil lagi yang harus merengek kepada orang untuk mendapatkan apa yang ia mau. Mereka harus memahami arti dari ‘berproses menjadi dewasa’. Tentu hal yang juga perlu diingat, pendalaman materi tentang agama harus ditekankan kepada mereka. Sangat aneh jika sebuah universitas berlabel Islam, tapi mahasiswanya bahkan tidak mengetahui rukun iman dan rukun islam.
Hari ini kegiatan lebih difokuskan untuk saling ta’aruf. Setelah saling berkenalan, aku biarkan mereka menanyakan semua hal. Apapun itu, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan mentoring. Bermacam-macam pertanyaan diarahkan padaku. Kujawab dengan seadanya. Alhamdulillah, mereka mulai memahami kenapa mereka harus ikut mentoring.
Ada dua hal yang membuat mentoring tahun ini terasa berbeda dengan mentoring yang telah kuikuti sebelumnya. Pertama, aku begitu terpukau dengan antusiasme para peserta dalam mengikuti kegiatan ini. Hal ini terlihat dari wajah-wajah mereka yang begitu bersemangat. Mereka terus memburuku dengan beribu pertanyaan. Hampir saja aku kewalahan. Tapi, terlepas dari itu semua, aku merasa spirit yang mereka miliki merembes kepadaku. Aku menjadi semakin termotivasi untuk membimbing mereka.
Hal menarik berikutnya berasal dari salah satu bimbinganku. Memang semua peserta begitu semangat dalam mengikuti mentoring ini, kecuali satu orang….Dalam absensi, namanya tertulis singkat, Rocky. Hmm…sepertinya ia anak blasteran. Tentunya, terkaanku ini mempunyai dasar yang kuat. Walaupun tubuhnya seukuran dengan orang-orang Indonesia, tapi ia mempunyai wajah yang khas, ditambah hidung yang mancung. Rambutnya hitam, tapi wajahnya tidak seperti anak Asia pada umumnya. Ia lebih mirip artis-artis Hollywood yang sering kulihat di TV. Aku yakin, seandainya ia mau, ia bisa menjadi artis terkenal di Indonesia. Apalagi dengan kulitnya yang lebih putih dari orang-orang Indonesia pada umumnya.
Sayang, Rocky bukan tipe orang yang banyak bicara. Ia lebih banyak diam. Ketika aku menanyakan beberapa hal kepadanya, ia hanya menjawab dengan tatapan kosong. Anggukan dan gelengan menjadi andalan. Aku paham, ia tidak mau banyak ditanya. Teman-teman sekelompoknya pun menjadi malas berdekatan dengannya, karena ia terlihat dingin sekali. Satu lagi tantangan bagiku, membimbing anak blesteran yang bersikap dingin!
Akhirnya mentoring ditutup dengan doa kafaratul majelis. Sesuai rapat yang telah dilakukan bersama para pengurus, insya Allah kegiatan ini akan diadakan dua kali dalam seminggu.
Aku memasukkan absensi ke dalam tasku. Di tempat lain, para mentor telah membubarkan kelompoknya lebih dulu dari kelompokku. Tampaknya, kelompokku yang terakhir keluar dari masjid ini. Aku melirik jam tangan. Hmm…sebentar lagi adzan maghrib, ujarku pada diri sendiri. Aku bersegera beranjak dari tempat dudukku. Aku berjalan menuju tempat wudlu. Tapi….anak itu? Rocky…dia masih mematung menatap sesuatu di atas tempat imam. Apa yang dilakukannya di sana?
Tanpa berpikir panjang, aku menghampirinya. Aku berdiri di sampingnya. Kupandangi wajahnya yang sangat khas itu. Tak ada respon. Matanya tetap tertuju pada satu arah...sebuah tulisan. Aku pun ikut memandanginya.
Walaupun dengan suara lemah, aku masih bisa mendengarnya saat ia menyebutkan tulisan tersebut. “Allah…..”
* * *
“Jangan lupa untuk mengamati segala sesuatu yang ada di sekitar kalian. Sesuatu yang menurut kalian sangat tidak berharga. Lalu kemudian renungkanlah, kenapa Allah menciptakannya. Ingat, semua yang diciptakan-Nya itu pasti ada maksud dan tujuan tertentu. Ambillah hikmah darinya,” pesanku sebelum mereka beranjak pergi.
“Insya Allah, Kak. Kami pulang dulu. Assalamu’alaikum!” Timpal salah satu dari mereka. Satu persatu mereka menghilang dari hadapanku.
Alhamdulillah…mentoring hari ini sudah selesai. Lega rasanya melihat adik-adik mahasiswa ini begitu semangat untuk mempelajari Islam. Saat ini, Islam bagi mereka bagaikan sebuah magnet yang mempunyai daya tarik yang sangat kuat. Mereka ingin mengetahui segala sesuatu tentang Islam. Apa saja, asalkan berhubungan dengan Islam. Sesungguhnya Allah telah memberikan cara dakwah yang begitu banyak ragamnya.
Aku memasukkan buku-buku yang berserakan di depanku ke dalam tasku. Tak lupa aku meneliti kembali absensi peserta. Sudah dua minggu mentoring berjalan. Alhamdulillah semua bimbinganku selalu hadir semuanya. Mereka selalu menekuni apa-apa yang kusampaikan. Kami banyak berdiskusi tentang semua hal.
Aku berdiri dengan berpangku pada lutut. Hufh….hari yang cukup melelahkan, tapi tidak menyurutkan niatku dalam menyampaikan dakwah. Salah satunya dengan mentoring ini. Semoga aku tetap beristiqamah dalam menjalankannya. Hari ini aku telah berniat untuk sholat di mushalla dekat rumahku. Makanya, aku bergegas pulang dari masjid ini agar tidak terlambat.
“Kak…” suara yang tidak asing lagi di telingaku. Rocky…Ia berdiri di samping pintu masjid. Aku berhenti sejenak.
“Rocky…belum pulang?” Aku bertanya kepadanya. Ia tak menjawab. Hening. Wajah putihnya terlihat semakin putih di mataku. Pucat.
“Boleh aku berbincang-bincang dengan Kakak?” Ia bertanya balik kepadaku. Aku menatapnya dalam-dalam. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Dengan senyum dikulum, aku menganggukkan kepalaku. Waktu maghrib masih setengah jam lebih. Kalaupun tak sempat ke musholla, aku akan shalat di sini. Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan, ujarku pada diri sendiri.
Kami duduk berselonjoran di depan masjid. Rocky memulai percakapannya. “Sebelumnya, aku meminta maaf karena berlaku sangat dingin kepada kalian, khususnya kepada Kakak.” Ia menyampaikannya dengan wajah tertunduk. Memang sejak pertama kali ia mengikuti mentoring, Rocky lebih banyak berdiam diri. Apabila disuruh mengaji atau praktek-praktek ibadah…ia tidak mau. Aku tidak memaksanya. Aku yakin suatu saat ia akan berubah. Mungkin hari ini…
“Dulu, sebelum pindah ke Indonesia, aku tinggal di London. Aku dilahirkan di sana. Daddy bertemu dengan Mom pada waktu kuliah. Mom berasal dari Indonesia. Setelah lulus kuliah, akhirnya mereka menikah dan memutuskan untuk tinggal di sana.”
“Masa kecilku sangat indah sekali. Semuanya masih terekam jelas di kepalaku, Kak.” Ia menarik nafasnya dalam-dalam. “Hingga pada suatu hari, saat aku bermain baseball bersama Daddy, tiba-tiba saja ia terjatuh sambil memegangi dadanya. Ia meninggal karena serangan jantung. Saat itu, umurku baru sembilan tahun.” Ia berdiam diri beberapa saat. Aku bisa merasakan perasaannya ketika menceritakan hal itu. Berat sekali.
“Beberapa bulan setelah kematian Daddy, ekonomi Mom semakin merosot. Ia kehilangan sosok yang melindunginya. Daddy begitu cepat meninggalkan kami. Mom kebingungan. Walaupun begitu, pilihannya untuk pulang ke negara asalnya sudah bulat. Ia pun turut membawaku ke sini, ke Indonesia.”
“Sejak saat itu, aku tinggal di Indonesia. Sedikit-sedikit aku mulai memahami kebudayaan negara Mom. Suasananya sangat berbeda. Tapi, tak bisa dipungkiri. Darah orang Indonesia juga mengalir di tubuhku. Maka, tak terlalu sulit bagiku untuk beradaptasi.”
Tak ada beban sedikit pun bagi Rocky membeberkan seluruh cerita tersebut kepadaku. Seakan-akan ia begitu percaya kepadaku. Entahlah. Yang pastinya, ia tampak berbeda sekali dengan Rocky yang biasanya kutemui pada saat mentoring.
Ia memandang langit dengan tatapan kosong. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Ia kembali meneruskan pembicaraannya, “Aku baru mengenal Islam dua tahun lalu, ketika aku duduk di sekolah menengah. Saat itu aku berkenalan dengan salah seorang ikhwan, namanya Yusuf Arif. Ia mengajariku banyak hal tentang Islam.” Rocky menghentikan pembicaraannya. Kali ini mengubah posisi duduknya. Ia menghadapkan tubuhnya ke arahku. Kini kami saling bertatap muka. “Aku berasal dari keluarga yang menganut kebebasan dalam beragama. Aku mempunyai banyak paman, dan mereka menganut agama yang berbeda. Makanya, Mom tidak begitu peduli dengan pendidikan agama bagiku. Yang terpenting baginya adalah aku bisa sekolah setinggi mungkin,” jelasnya kepadaku.
“Namun, semua itu tidak menyurutkan niatku untuk mempelajari Islam. Aku ingin mengetahui semua hal yang berhubungan dengan Islam. Hingga pada suatu hari, Yusuf menyuruhku untuk meneruskan kuliahku di sini. Ia menjelaskan bahwa di sini mempunyai mentoring yang baik dalam mengenalkan Islam. Dengan segala pertimbangan, aku pun memutuskan untuk kuliah di sini, walaupun sempat terjadi perdebatan sengit di pihak keluargaku.”
“Memang aku masih canggung ketika belajar Islam. Aku masih malu untuk berbuat ini itu. Tapi Kak, aku mau berniat. Mulai saat ini, aku akan serius mengikuti mentoring ini. Aku ingin menjadi bagian dari Islam. Karena…aku tak bisa menafikan lagi…kalau Islam itu begitu indah….” Ucapnya kepadaku. Untuk pertama kalinya aku melihat senyum Rocky yang sangat tulus. Wajahnya terlihat begitu cerah dan damai.
Allahu Akbar….Allahu Akbar….Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang.
* * *
Mentoring telah selesai empat bulan yang lalu. Mahasiswa-mahasiswi baru kembali berkutat dengan kegiatannya masing-masing. Seluruh pengurus dan mentor berdoa, semoga kegiatan mentoring yang telah dilaksanakan tersebut bisa menjadi bekal untuk para peserta. Amin.
Banyak kenangan yang kudapat dari kegiatan tersebut, khususnya dengan Ibadurrahman Al-Faroqy…atau lebih dikenal dengan sebutan Rocky. Itulah nama sebenarnya yang telah diberikan oleh Momnya ketika masih di London bersama ayahnya. Nama itu adalah wasiat dari mendiang Kakek Mom, atau Kakeknya Rocky. Usut punya usut, ternyata Kakeknya Rocky adalah seorang Muslim yang taat. Walaupun agak risih, mau tak mau Momnya memberikan nama itu. Kebetulan dari kata Al-Faroqy, bisa diambil kata ‘Roqy atau Rocky’. Sehingga nama itulah yang dipakai ketika ia berada di London. Nama itu juga sudah umum dipakai di sana. Akhirnya, Daddynya pun tak mempermasalahkannya lagi.
Sejak mentoring tersebut, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Rocky. Walaupun begitu, ia masih menyimpan nomorku. Sayangnya, ia tak pernah menghubungiku. Aku pun lupa untuk menyimpan nomornya. Aku selalu mendoakan, semoga anak itu selalu haus akan pengetahuan agama Islam. Aku tahu, ia begitu ingin tahu semua hal yang berhubungan tentang Islam. Allah selalu bersamanya.
Hari ini aku pulang kemalaman. Siang tadi ada seminar nasional tentang pendidikan Islam di kampusku. Aku menjadi ketua panitia. Setelah acara selesai, kami berkumpul dulu untuk evaluasi. Banyak hal yang harus kami perbaiki untuk acara-acara yang akan kami laksanakan selanjutnya. Semoga ini menjadi pelajaran bagi kami.
Aku memacu cepat motorku. Aku ingin shalat Isya berjama’ah di mushalla dekat kosku, insya Allah masih sempat. Jalanan agak lenggang. Oleh karena itu, aku tak ragu-ragu untuk memacu motorku lebih cepat.
Tiba-tiba saja, sebuah motor besar melintas di sampingku. Pletak! Spion motorku mengenai tangannya. ‘Astaghfirullah!’ batinku. Aku oleng. Ia pun tak bisa mengendalikan motornya. Dan…
Bruak! Aku jatuh tersungkur di rerumputan. Motorku terlempar jauh di depanku. Kepalaku agak pusing. Syukurnya aku baik-baik saja. Hanya sedikit lebam di bagian kakiku. Beberapa orang menghentikan motornya dan mencoba untuk menolongku. Setelah yakin kalau aku tidak apa-apa, mereka pun membiarkanku berdiri. Sebenarnya, beberapa orang takjub denganku, dengan kecepatan motor yang tidak bisa disangkal, aku masih bisa selamat tanpa kurang satu apapun. Allah menyelamatkanku.
Di kejauhan, aku melihat motor besar itu juga jatuh terjerembab di pinggir jalan. Dua orang pemuda-pemudi jatuh tersungkur di sana. Beberapa orang berdiri berkeliling di sana. Aku bersegera ke sana. Kuamati dua pemuda-pemudi tersebut. Terlihat darah segar mengalir di beberapa bagian tubuh mereka. Dalam hal ini, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku adalah orang yang salah, karena mereka yang duluan menabrakku. Tapi, batinku berkata lain. Aku harus menolong mereka.
Pemuda yang terjatuh tadi mencoba untuk duduk. Sedangkan, wanita yang ia bawa masih tak sadarkan diri. Aku mencoba untuk membantu pemuda itu duduk. Ada darah mengalir dari lehernya. Sepertinya dari kepalanya.
Tak selang beberapa lama kemudian, ia mencoba membuka helmnya. Ya Allah….detak jantungku seakan berhenti sejenak. Benarkah yang kulihat ini. Rocky….aku yakin ia adalah Rocky…
Sambil menahan pundaknya, aku tak berkata apapun. Aku terus menatapnya. Kami saling beradu pandang. Ia sepertinya baru sadar kalau orang yang ada di hadapannya ini adalah mentornya dulu, Kak Ilyas.
Beribu pertanyaan muncul di kepalaku. Rocky…Kenapa aku harus bertemu kamu pada suasana seperti ini…Jelaskan padaku Rocky…Jelaskan kenapa….
Muhammad Qamaruddin
Santri PP UII 2010
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?