“Cepat…cepat!’ Batinku berujar. Aku berlari terengah-engah. Tak kupedulikan lagi orang-orang yang juga berlarian di sampingku. Mereka semua juga memasang muka yang hampir mirip denganku…wajah ketakutan! Gelisah! Tapi.,,Ah! Kenapa aku harus mengurusi mereka? Aku terus saja berlari.
“Hei! Yang terlambat! Ayo baris di sini!!” Seseorang berteriak dari samping. Panitia! Pupus sudah harapanku. Aku pun menghentikan adu balapku dengan lawan-lawan yang kutemui di jalan tadi. Tidak hanya aku, tetapi semuanya.
Kami semua menuju tempat yang dimaksud oleh orang yang berteriak tadi. Di sana juga sudah ada beberapa orang yang berdiri. Mematung sambil menundukkan kepala. Kami disuruh untuk membuat barisan baru.
“Maba Miba! Kalian baru pertama kali masuk sudah membuat kesalahan! Kalian tahu apa kesalahan kalian!” Tanya kakak panitia yang tadi menyuruh kami berbaris.
“Terlambaaat!!” Jawab kami serentak. Serta merta aku melihat jam tanganku. jam 07.08. Ah! Cuma terlambat 8 menit.
“Bagus…Kalian sadar dengan kesalahan kalian. Sekarang apa yang kalian inginkan?” Lanjutnya. Kami semua diam membisu beberapa saat.
“Dihukum Kak!” Teriak salah seorang dari kami dengan tegas.
Inilah hari pertamaku mengikuti OSPEK. Dihukum karena terlambat! Agak memalukan memang. Tapi mau bagaimana lagi. Harus diterima dengan lapang dada. ‘Cuma dua hari…’ nasehatku pada diri sendiri. Akhirnya kami disuruh menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama.
Setelah itu, kami disuruh untuk masuk ke dalam hall, tempat kawan-kawan yang lain sudah berkumpul. Aku sudah merapikan seluruh peralatan-peralatan yang ada di badanku. Bismillahirrahmanirrahim! Semua pasti akan baik-baik saja. Amin! Aku pun berjalan cepat bersama kawan-kawan yang tadinya juga terlambat.
Di tengah jalan, mataku tertuju pada satu sosok yang hanya terpaku di pinggir jalan. Diam dan menunduk. Dari pakaiannya, aku sudah bisa menebak kalau dia juga itu pasti juga mahasiswa baru, sama seperti aku. Tapi kenapa dia hanya diam di sana?
Buak! seorang panitia menerobos dari samping, berjalan lebih cepat dari aku. Bahunya yang besar itu, seakan-akan memang sengaja di tabrakkannya ke bahuku.
“Minggir!” Katanya dengan nada tinggi. Aku turuti perintahnya. Lebih baik tidak usah cari masalah, batinku berujar.
Ia terus berjalan…dan…ia menuju orang yang berdiri di pinggir jalan itu!
“Hei! Kenapa kamu masih diam di situ, sedangkan kawan-kawan kamu sudah masuk ke dalam!” Teriak Kakak panitia itu kepadanya. Suaranya jelas terdengar. Nyaring sekali. Aku hanya melirik sebentar ke arah suara itu berasal, kemudian terus saja berjalan. “Hei! Kamu tak punya telinga ya!” Teriaknya sekali lagi. Laki-laki yang diteriaki itu tetap diam bak seonggok batu. Diam seribu bahasa. Terang saja kakak panitia itu semakin marah. “Kamu…!!” Geramnya. Ia mendekatkan diri kepada laki-laki itu.
“Maaf Kak, saya tunanetra…,” ucapnya tenang. Walaupun tidak nyaring, suara itu terasa jelas terdengar di telingaku, karena ia menyebutnya ketika aku pas berada di samping mereka.
Tunanetra? Apa mungkin orang seperti itu bisa masuk kuliah? Ah...Aku terus saja berjalan meninggalkan mereka. Sekilas, aku membalikkan wajah, mencoba untuk mengamati tanggapan kakak panitia tersebut, sekarang malah terbalik, kakak pantia itu yang diam seribu bahasa…
* * *
‘Semangat! Semangat!’ ucapku pada diri sendiri sambil menyisir rambut di depan cermin. ‘Siap!’, tinggal berangkat.
Tak lama kemudian, aku sudah mengendarai motor kesayanganku. Jarak antara rumahku dengan kampus memang tak terlalu jauh, hanya memerlukan kurang lebih sepuluh menit, aku sudah bisa mencapainya.
Beberapa menit setelahnya, aku telah memasuki gerbang kampus. Mahasiswa-mahasiswi satu persatu juga datang silih berganti. Beberapa muka sudah tak asing di mataku. Aku telah mengenal mereka sewaktu mengikuti ospek.
Sekarang, gedung Fakultasku tepat berada di depanku. Hanya terpaut sepuluh meter. Langkah awal menuju kesuksesan!
Tunggu dulu! laki-laki itu…Ia berdiri tepat di samping pintu bersama seorang bapak yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Raut wajah mereka tampak begitu kebingungan.
Aku pun berjalan menuju tempat mereka berdiri.
“Assalamu’alaikum”, aku memberikan salam kepada mereka sambil tersenyum. Kontan saja mereka menoleh kepadaku.
“Wa’alaikumsalam”, jawab mereka serentak.
“Maaf, dari depan sana tadi, saya lihat anda berdua tampak begitu sangat kebingungan. Mungkin saya bisa bantu…,” kataku sopan.
“Begini Nak, ini adalah hari pertama Adit masuk kuliah. Sejak Ospek kemarin, kami tidak pernah lagi datang ke universitas. Yang saya tahu, awal perkuliahan adalah hari ini. Jadinya saya kurang mendapat informasi tentang perkuliahan untuk Adit”, Bapak itu menjelaskan kepadaku. Permasalahan yang ada pada mereka pun sudah dapat kubaca.
“Kalau begitu, bagaimana kalau saya saja yang mengantarkan Adit ke ruang perkuliahannya. Saya bisa bantu, InsyaAllah”, ujarku. Terlihat perasaan lega dari wajah Bapak itu. Ia mengucapkan terima kasih kepadaku karena sudi menolong mereka.
“Nama saya Ahmad Fajri,” aku mengenalkan diri sendiri sambil menyalami mereka. Bapak itu kemudian memperkenalkan dirinya. Pak Usman...begitu panggilannya. Kemudian ia mengenalkan anaknya, Adit Rahmat. Tak lama kemudian, Pak Usman langsung beranjak pergi. Ia menjelaskan kalau ia harus bekerja lagi. Aku menuntun Adit perlahan-lahan. Ia membawa tongkat yang sesekali ia ketukkan di jalan.
Para mahasiswa tampak berbincang-bincang di tepi-tepi jalan. Beberapa di antaranya menoleh kepada kami. Mereka seperti mendapatkan tontonan baru. Hal yang tidak pernah mereka lihat sebelumya. Seorang tunanetra masuk kampus!
Sebagai orang yang menolong Adit, semua hal itu tidak kuacuhkan. Aku ikhlas menolongnya.
Pada saat di perjalanan, kami banyak berbincang-bincang. Banyak hal yang aku ketahui dari Adit, dan yang lebih mengejutkannya lagi, aku baru tahu kalau Adit mengambil jurusan yang sama denganku, yaitu Hukum Islam.
Dosen telah memulai perkuliahan ketika kami memasuki ruangan. Semua memperhatikan kami tatkala kami melangkah menuju tempat duduk yang kosong, tak terkecuali dosen.
Perkuliahan kembali dilanjutkan. Seluruh mahasiswa kembali fokus dengan apa yang disampaikan oleh dosen. Pada saat perkuliahan berlangsung, ada hal lain yang kudapat dari Adit. Hal yang sangat mengejutkan bagiku, bahkan mungkin seluruh mahasiswa yang ada di ruangan kuliah. Pada saat sesi tanya jawab, ia terus melontarkan beberapa pertanyaan, tak lupa juga memberikan tanggapan-tanggapan. Sangat lugas dan jelas. Sehingga aku kemudian berkesimpulan, Adit bukan hanya seorang tunanetra belaka, tetapi ia juga seorang mahasiswa yang mempunyai otak cerdas.
* * *
Kamu pintar ya, Dit”, pujiku. Kami sedang duduk di kantin kampus. Makanan yang kami pesan belum datang.
“Biasa saja, Fajri. Semua ini adalah karunia Allah. Jangan sampai kita lupa diri. Dan perlu kamu ketahui, kalau aku tidak belajar, aku pun tidak bisa menjadi seperti ini. Alhamdulillah,” jawabnya dengan nada merendah.
“Maaf kalau aku kurang sopan, tapi bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Iya...Apa yang mau kau tanyakan?”
“Tentang...ee...kebutaanmu...maaf...”, aku sedikit ragu menanyakan hal itu. Takut sekali kalau ia menjadi tersinggung.
“Aku buta sejak kecil, Dit”, ujarnya kepadaku. Ia pun melanjutkan penjelasannya. “Kata Bapakku, sewaktu aku masih kecil, aku masih bisa melihat. Namun lambat laun penglihatanku semakin berkurang, hingga aku tidak bisa melihat sama sekali. Ibuku meninggal ketika melahirkan aku. Sejak saat itu, seluruh keluargaku mengutuk kehadiranku, apalagi mereka juga tahu aku menderita kebutaan sejak dini. Mereka mengatakan aku telah merenggut nyawa ibuku sendiri. Bahkan mereka juga mengatakan bahwa kehadiranku tidak diperlukan di dunia. Apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak bisa melihat”. Adit diam sebentar. Aku merenungkan seluruh perkataannya. Betapa berat tekanan batin yang dirasakan oleh Adit
“Hanya Bapakku yang sampai saat ini terus mendorongku untuk tidak patah semangat”, lanjutnya. “Ia terus memotivasiku. Ia katakan dengan tegas kebutaaanku bukanlah alasan menjadi minder di hadapan orang lain. Ia katakan tidak mustahil bagiku menjadi yang terbaik walaupun dengan segala kekuranganku ini”.
“Alhamdulillah, aku sangat bersyukur kepada Allah, karena aku diberikan daya ingat yang sangat kuat. Sehingga aku hanya perlu mendengar satu kali apa yang disampaikan oleh pengajar, selanjutnya, semua itu telah merekat di otakku. Suatu kelebihan untuk menggantikan kekurangan pada fisikku”.
“Fajri, aku tidak peduli dengan ejekan orang lain. Aku pun tidak peduli mereka mau berkata apa tentang diriku. Terserah. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi lebih baik dari mereka, walaupun aku hanyalah seorang tunanetra”. Begitu panjang penjelasan dari Adit. Tak satu kata pun aku lewatkan. Semuanya seakan terekam jelas di otakku. Bebannya, perjuangannya, semangatnya, impiannya, dan seluruh harapannya menjadi gambaran yang sangat jelas di mataku.
Aku menjadi malu sendiri. Allah telah menciptakan aku dengan bentuk yang sempurna. Tak kekurangan satu apapun. Namun kenapa aku tidak mempunyai semangat hidup layaknya Adit? Sungguh ia mempunyai tekad yang kuat.
Aku semakin kagum kepada laki-laki yang ada di depanku ini. Adit Rahmat! Seorang tunanetra yang mempunyai sejuta harapan bermodalkan tekad yang kuat. Bukan tak mungkin, aku yang mempunyai fisik yang sempurna ini, akan jauh tertinggal darinya. Sangat mungkin...
* * *
Nomor HP Adit tidak bisa dihubungi. ‘Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi’, suara perempuan inilah yang selalu menjawab panggilanku.Terakhir aku bertemu Adit pada hari jum’at. Sekarang sudah hari senin. Namun tak ada kabar dari sahabatku ini. Tidak seperti biasanya.
Entah kenapa aku menjadi gelisah. Aku merasa ada yang hilang dari diriku. Kegelisahanku pun semakin menjadi-jadi ketika sampai detik ini nomor HP-nya masih saja tidak aktif. Ya Allah! Apa yang terjadi dengan dirinya.
Aku mencoba untuk menghubungi bapaknya. Tersambung, tetapi tidak diangkat. Setelah mencoba sebanyak tiga kali, aku menghentikan panggilanku. Aku berpikir, mungkin bapaknya sedang sibuk. Sekarang, kepada siapa lagi aku menanyakan perihal Adit?
Akhirnya aku berjalan menuju ruang perkuliahan dengan langkah gontai. Tak ada semangat sama sekali. Terlepas dari itu semua, aku tetap berpikiran positif. Adit pasti baik-baik saja.
Aku sudah berada di ruang perkuliahan. Tak berapa lama setelah duduk di kursi yang disediakan, Pak Hadi, dosen yang mengajar mata kuliah Fiqh Muamalat hadir dengan langkah yang pasti. Tak lupa ia membawa laptop yang selalu menemaninya untuk menyampaikan presentasi.
Sebelum memulai perkuliahan, Pak Hadi memberitahu kepada kami, Adit tidak bisa berhadir pada hari ini ia sedang menjalani pemeriksaan mata. Pak Hadi menambahkan kemungkinan besar dalam waktu dekat ini, mata Adit akan segera dioperasi.
Rupanya ini sebab musababnya kenapa Adit tidak hadir pada hari ini,dan kenapa juga ia tidak mengaktifkan HP-nya. Tapi, kenapa ia tidak memberitahuku sebelumnya...
Operasi? Aku juga masih bingung dengan hal ini. Dalam beberapa hari terakhir aku berbincang-bincang Adit, tak pernah terlintas di ucapannya, kalau ia mau operasi. Seperti mendadak sekali! Sebenarnya apa yang telah terjadi pada Adit? Semoga ia baik-baik saja...
* * *
Karena kesibukan yang sangat padat terkait organisasi, aku pun datang menjenguk Adit tepat ketika ia akan dioperasi. Namun sebelumnya, aku terus menghubungi Pak Usman, menanyakan perihal Adit, bagaimana kabarnya pada saat itu.
Sekarang aku duduk di samping Pak Usman. Kami berada di rumah sakit. Hanya ada beberapa mahasiswa yang juga datang menjenguk Adit. Mereka semua adalah teman-teman Adit yang juga teman-temanku di kampus.
Aku berbincang-bincang dengan Pak Usman. Aku menanyakan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Adit, sehingga ia menjalani operasi ini. Memang sebelumnya ketika berhubungan dengan Pak Usman lewat HP, aku tidak pernah menanyakan sama sekali tentang hal ini.
“Inilah yang namanya hidup, Nak Fajri...tak bisa ditebak. Manusia hanya bisa berharap, Allah yang menentukan. Memang benar sebelumnya tak ada rencana sama sekali Adit akan menjalani operasi mata ini. Tapi inilah kehendak Allah”. Pak Usman memulai pembicaraan. “Hari itu salah seorang dosen kalian yang juga berprofesi sebagai dokter datang ke rumah kami”.
“Pak Wisnu?” Tanyaku.
“Iya,” jawab Pak Usman. Terang saja aku tahu dengan Pak Wisnu. Walaupun beliau tidak mengajar di jurusan kami, beliau begitu terkenal di universitas, karena beliau adalah dosen sekaligus trainer motivasi yang telah melanglang buana mengelilingi dunia. Namanya sudah terkenal di mana-mana.”Beliau datang ke rumah bertujuan untuk menemui Adit. Jujur saya sangat terkejut dengan kedatangan beliau. Bayangkan Nak Fajri, Adit hanya seorang tunanetra, didatangi oleh seorang trainer motivator yang juga berprofesi sebagai dosen dan dokter. Beliau menyatakan bahwa kedatangannya ini hanya untuk menemui Adit, anak saya yang sangat pintar di kampus”.
“Adit pun berbincang-bincang dengan beliau. Semakin jauh perbincangan, semakin besar rasa kagum beliau kepada Adit. Pak Wisnu sepertinya tidak bisa memungkiri kalau Adit itu adalah anak yang cerdas, terlebih lagi Adit adalah seorang Tunanetra.”
“Di akhir perbincangan, Pak Wisnu menawarkan operasi mata kepada Adit. Ia ingin Adit bisa menjadi lebih cerdas, hal itu menjadi terwujud apabila matanya bisa melihat. Dan hal yang paling mengherankannya lagi, beliau bersedia untuk menangggung seluruh biaya operasi.”
“Mungkin bagi Pak Wisnu, apalah arti biaya operasi yang sangat kecil di matanya itu. Tapi bagi kami, biaya itu merupakan uang yang sangat besar sekali”.
“Adit tak mengiyakan. Ia hanya menjawab dengan senyuman. Sampai beliau masuk ke dalam mobil untuk pulang, Adit tetap saja tidak mengiyakan. Bapak yakin, Adit masih bingung, apa yang harus diputuskan pada saat itu.”
“Pak Wisnu akhirnya berpesan kepada Adit, apabila ia mau menerima tawaran tersebut, Adit langsung saja menghubunginya. Setelah itu, semuanya akan diurus.” Penjelasan Pak Usman terhenti oleh kedatangan seorang suster. Ia memberitahu kami kalau operasi akan segera dimulai. Deg! Jantungku berdetak keras. Adit akan segera dioperasi! Ya Allah, berikanlah ia kemudahan dalam menjalani operasi ini.
Pak Usman mengajakku untuk berdoa bersama. Dengan khusuk aku berdoa, dipimpin oleh Pak Usman. Semoga ini yang terbaik untuk Adit.
“Hari ini tentunya kau telah mengetahui keputusan apa yang telah diambil oleh Adit”, sambung Pak Usman setelah menyelesaikan doa.
Aku terus memikirkan kejadian yang menimpa Adit. Sebagai seorang kawan, tentunya aku menginginkan yang terbaik bagi dirinya. Namun, tak ada yang mengetahui masa depan, kecuali Sang Khaliq.
* * *
Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Dokter akan membuka perban mata Adit. Aku bergegas menuju rumah sakit. Motor yang sedari tadi sudah kupanaskan, seakan berkata kepadaku kalau ia siap mengantarkaku kemana saja.
Setibanya di rumah sakit, aku langsung saja menuju kamar tempat Adit berada. Di sana sudah ada beberapa kawanku. Pak Usman duduk di samping Adit yang terbaring di atas ranjang.
Pak Usman menoleh kepadaku dan kemudian tersenyum. Ia membisikkan sesuatu kepaeda Adit. Adit pun juga tersenyum.
“Fajri...”, ujarnya agak lemah. Subhanallah! Betapa senangnya aku mendengar sapaan ini. Bergegas aku mendatanginya. Kupegang tangannya.
“Tenang kawan...semuanya akan baik-baik saja. Allah bersama kita”, aku mencoba untuk memberikan motivasi. Aku ingin membuatnya merasa nyaman.
“Terima kasin kawan. Apapun yang terjadi, aku akan siap”.
Tak selang beberapa lama kemudian, seorang dokter bersama dua orang suster memasuki ruangan. “Perban akan segera dibuka”, ujar salah satu suster kepada kami.
Saat-saat yang mendebarkan!
Adit disuruh duduk. Setelah mengecek segala sesuatunya, dengan mengucapkan ‘bismillahirrahmanirrahim’ perban pun mulai dibuka perlahan-lahan. Aku terus berdzikir. Mulut Pak Usman pun terus mengumandangkan asma Allah.
Akhirnya, perban telah habis terbuka. Mata Adit sudah nampak di hadapan kami. Semua orang yang ada di sana menanti apa yang akan diucapkan oleh Adit.
Ia telah membuka kelopak matanya, tapi ia masih melihat tanpa ada ekspresi yang jelas. Ia ke kiri dan ke kanan, mengamati keadaan di sekitarnya. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Bagaimana Dik?” Dokter itu memulai pembicaraaan. Adit masih diam seribu bahasa. ‘Apa yang terjadi?’ Batinku sedikit gelisah. Semua orang yang ada di ruangan itu masih mematung. Sunyi senyap. Mereka menunggu suara dari Adit.
Perlahan Adit menyunggingkan senyumnya kepada kami. Mulai ada perasaan lega muncul di hati ketika melihat senyumnya itu. Lalu kemudian ia berkata, “Kalian semua tidak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Sebelumnya kau sudah mengatakan bahwa aku akan menerima apa yang dikehendaki oleh Tuhan, apa pun itu. Dan pada saat ini, Tuhan telah memberikan yang terbaik”, jelasnya kepada kami. Kemudian ia melanjutkan pembicaraannya, “Ya Allah, biarlah gelap ini menjadi motivasiku untuk menjalani hidup ini. Aku ikhlas menerimanya...”
Ya Allah, akhirnya aku mengetahui bahwa operasi yang dijalani oleh Adit...gagal.
Yogyakarta, 29 September 2010
Muhammad Qamaruddin
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?