Sabtu, 15 Oktober 2011

LANGIT TAK LAGI BERCAHAYA




            Mendung menyelimuti bumi seakan bersedih oleh suatu sebab yang tidak diketahui oleh siapapun. Sungguh hanya Tuhan yang mengetahui maksud dan arti dari tanda alam tersebut.
            Yaman memandang ke atas langit. Gerimis menyambut kedatangannya. Setelah sekian lama tidak menginjak hamparan kebebasan, inilah saatnya menikmati kehidupan yang sesungguhnya. Berbuat tanpa ada yang melarang!
            sebelumnya, kehidupannya sempat terkekang, harapannya sempat terputus, masa depannya sempat tidak terpikirkan lagi. Penjara membuatnya merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia.
            Kalau bukan karena Joko, tidak mungkin Yaman masuk penjara. Dulu sebelum ia masuk bui, Joko selalu mencari masalah dengan Yaman. Orang itu selalu menjelek-jelekkan Yaman di hadapan teman-teman segenknya. Akhirnya emosi Yaman meluap. Tanpa basa-basi, Yaman membunuh orang itu! Teman-teman Joko yang melihat kejadian itu langsung lari. Mereka takut kalau-kalau Yaman mengamuk. Akhirnya, setelah kejadian tersebut Yaman harus mendekam di penjara selama lima tahun
            Itu cerita masa lalu. Sekarang masa penantiannya sudah selesai. Rasa bosan dan jemu yang selalu menemaninya di dalam penjara memudar seiring dengan habisnya masa hukumannya. Anehnya, walaupun sudah lima tahun mendekam di penjara tidak membuatnya jera melakukan kejahatan. Pikiran-pikiran buruk masih terpatri di benaknya. Ia merindukan semua pekerjaannya dulu. Memalak, mencopet, mencuri, memukuli orang, semua itu sangat dirindukannya. Dan satu barang yang paling diidamkannya, ‘minuman keras’!
            Yaman adalah seorang pemabuk kelas berat. Setiap harinya Yaman tidak bisa lepas dari minuman memabukkan itu. Tidak bisa dipungkiri kalau ia menunggu hari ini. Hari kebebasannya! Minuman keras akan menyegarkan raganya, otaknya, dan kekuatannya. Hidupnya akan kembali indah seperti dulu. Tentunya dia harus berhati-hati dengan para dedengkot pemerintah brengsek itu. Dia tidak mau masuk penjara lagi.
            Ditelusurinya jalan menuju rumahnya. Hatinya berbunga-bunga. Ia ingin sekali meluapkan rasa senangnya kepada teman-temannya. Ia yakin teman-temannya telah menunggu kedatangannya setelah sekian lama tidak bertemu. Asep, Ino, dan Mali, mereka adalah teman-teman satu gengnya. Makan, tidur, jalan-jalan ke pasar, atau berkelahi sekalipun, semuanya selalu dilakukan bersama-sama. Bahkan Yaman sudah menganggap seperti saudara sendiri. Yaman yakin, rasa rindu mereka terhadapnya tak kalah hebatnya dari rasa rindunya kepada mereka sekarang.
            Yaman tiba di rumah kecil tempat ia berdiam bersama-sama dulu. Rumah ini disewa dengan uang yang mereka kumpulkan bersama-sama dari hasil memalak. Sebelumnya ia telah memberi beberapa buah botol minuman keras di warung tempat ia biasanya mangkal. Dia ingin merayakan kebebasannya bersama mereka.
            Nampaknya hukuman penjara belum bisa membuatnya jera!Ia masih menyimpan keinginan untuk berbuat kejahatan!
            Jalanan lengang. Hanya ada satu dua orang yang berjalan lalu lalang. Gerimis yang masih turun mungkin adalah salah satu penyebabnya. Membuat orang lebih suka berdiam di dalam rumah. Enggan untuk keluar.
            Rumah kecil yang mereka huni ini memang terletak jauh dari pusat kota. Lingkungannya asri dan damai. Namun dengan kehadiran Yaman dan teman-temannya membuat para warga menjadi resah. Pada saat mengetahui bahwa Yaman masuk penjara, para warga setempat sangat bersyukur. Mereka tahu bahwa Yaman adalah ketua geng. Dengan ketidakhadiran Yaman, dengan sendirinya akan berkurang pulalah aksi kejahatan mereka. Tapi Yaman telah  bebas. Masa hukumannya telah habis. Dia siap beraksi kembali!
            Yaman berjalan perlahan-lahan. Yaman ingin mengejutkan teman-temannya. Ia menebak-nebak apa yang sedang dilakukan oleh teman-temannya. Tidur? Main kartu? Atau sedang menunggu kedatangannya?
            Dibukanya pintu yang tidak dikunci dengan cepat.
            “Teman-teman! Aku pulang! Aku sudah bebas!” teriak Yaman. Tak ada jawaban. “Hei! Jangan bercanda! Aku sudah sangaaaat rindu dengan kalian! Mana sambutannya?” Lanjutnya. Sepi. Ia mulai menerka-nerka, mungkin mereka teman-temannya sedang keluar rumah. Tapi hatinya menyangkal. Ia yakin kalau teman-temannya sudah tahu ia akan datang hari ini. Mereka sudah tahu kalau ia akan keluar penjara hari ini. Lalu kenapa mereka keluar rumah? Senyum Yaman hilang dari mukanya. Ia tampak sedih dengan keadaan ini. Tak ada yang menyambutnya.
            “Ah! Lebih baik kutunggu mereka. Mungkin sebentar lagi mereka akan kembali,” ucapnya.” Atau……,”senyumnya kembali merekah.”Begitu ya! Aku tahu rencana kalian!” Ejeknya seolah-olah ia berbicara di hadapan mereka.Yaman berpikir pasti teman-temannya sedang bersembunyi di sekitar rumah. Dan pada saatnya tiba, mereka akan mengejutkannya. Ia segera berjalan menuju kamar yang ada di dalam rumah tersebut. di dalam lemar, di bawah ranjang, bahkan di balik tirai. Nihil. Mereka tidak ada.  Tapi masih ada satu kamar lagi yang belum diperiksanya. Hanya ada dua kamar yang belum dimasukinya.
            “Asep! Ino! Mali! Keluar dong! Di mana sih kalian!” Teriaknya. Betapa terkejutnya ketika ia sampai di kamar yang kedua. Dia melihat sesuatu  yang terasa aneh di matanya. Pemandangan yang sangat dibencinya. Bukan teman-temannya yang ia temukan, tetapi ia malah menemukan orang yang benar-benar tidak ia harapkan kehadirannya di sini.

* * *

            “Kapan kau datang ke sini?” Yaman bertanya seraya menatap tajam kepada laki-laki yang duduk di depannya.
            “Tiga bulan yang lalu,” jawabnya.
            “Untuk apa kau ke sini?” Tanya Yaman sambil menyulutkan rokoknya.
            “Untuk menyusulmu, Kak.”
            “Menyusulku?”
            “Ibu menunggu di rumah.”
            “Huh!” Yaman mendengus. “Mana teman-temanku?”
            “Mereka pergi kira-kira satu bulan yang lalu. Setelah kepergian itu, mereka tidak pernah lagi kembali ke sini. Aku tidak tahu ke mana mereka pergi. Tapi kurasa mereka mendapat masalah karena seminggu setelah kepergian mereka, beberapa orang polisi datang ke rumah ini.”laki-laki itu menghentikan pembicaraannya sebentar.
            “Teruskan!” Ucap Yaman. Masih dengan pandangan matanya yang tajam.
            “Polisi sempat menahanku. mereka menyangka kalau aku adalah salah satu teman mereka. Tapi aku membela diri. Aku mengatakan kalau aku tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Bahkan aku tidak tahu apa yang telah mereka lakukan. Kujelaskan bahwa kedatanganku ke sini hanya untuk menemuimu dan membawamu pulang. Kukatakan kepada polisi-polisi itu kalau kau tidak pernah mengirimkan kabar lebih dari enam tahun ke rumah. Dan Ibu sangat merindukanmu.”
            “Huh!” Yaman mendengus lagi.
            “Setelah mendengar penjelasanku itu, mereka pun melepaskanku. Yah…walaupun begitu, sampai saat ini aku masih diawasi oleh para polisi tersebut. Mereka takut kalau aku berbohong. Mereka juga memberitahukanku bahwa kau masih mendekam di penjara dan dalam waktu dekat ini akan segera dibebaskan.makanya aku terus menunggumu, Kak.”
            “Sekarang kau telah bertemu denganku. Apa lagi yang kau inginkan dariku?” Tanya Yaman.
            “Membawamu pulang,” jawabnya singkat.
            “Membawaku pulang?” Yaman tersenyum seakan tidak mempercayai perkataan dari adiknya tadi.” Tampaknya keinginanmu itu mustahil terwujud. Rizal adikku, aku adalah pelaku kriminal. Selama perantauanku, hanya kejahatan demi kejahatan yang kulakukan. Apa yang kau harapkan dengan kepulanganku?”
            “Ibu sangat merindukanmu, Kak. Beliau ingin bertemu denganmu.”
            “Rindu itu akan berubah menjadi benci jika Ibu tahu kalau aku hanya seorang sampah masyarakat.” Suasana berubah menjadi sunyi senyap. Yaman masih asyik dengan rokoknya. Dihembuskannya asap rokok sambil menengadah ke atas atap seakan asap itu menggambarkan apa yang dirasakan olehnya saat ini.
            “Pulanglah ke kampung!” Ucap Yaman tiba-tiba.
            “Itu tidak mungkin, Kak……Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk membawaku pulang. Tolong Kak, ini permintaan Ibu………,”Pinta Rizal memelas. Yaman memandangnya dengan sorot mata yang tajam. Pikirannya jauh menerawang, jauh menembus waktu dan tempat. Ia teringat masa-masa bersama ibunya dulu. Sangat bahagia. Yaman tidak bisa memungkiri kalau ia sebenarnya ingin sekali berjumpa dengan ibunya, tetapi ia merasa sangat hina jika harus pulang ke rumah dan bertatap mata dengan ibunya.
            “Kak!” Panggil Rizal menyadarkan lamunan Yaman.
            “Tinggalkan aku sendiri!” Yaman menyuruhnya pergi. Perlahan-lahan Rizal berdiri dari tempat duduknya. Ketika hendak keluar, Rizal menoleh kepada Yaman dengan raut muka sedih. Tak ada tanggapan dari Yaman, bahkan ia membuang mukanya ke dinding. Walaupun begitu, Rizal terus berharap agar Yaman bisa memenuhi harapan  ibunya untuk pulang ke kampung halaman. 
            “Rizal! Panggil Yaman. Rizal menghentikan langkahnya.
            “Aku tak ingin melihat kau melakukan pekerjaan yang kulihat tadi pagi.”
            “Sholat, Kak?”
            “Terserah kau mau menyebutnya apa! Pokoknya jangan pernah melakukannya di rumah ini!” Yaman menaikkan suaranya.
            “Tapi itu sebuah kewajiban, Kak!”
            “Asal jangan di rumah ini! Aku tidak suka! Lakukan itu di mana saja! Asal jangan di rumah ini! Kau paham tidak!”
            “Kau telah berubah, Kak……..”
            “Inilah aku sekarang! Apa kau baru menyadarinya!”
            “Walaupun kau sudah berubah, paling tidak temuilah Ibu. Beliau akan terus mengharapkan kedatanganmu sekalipun aku mengatakan kepada Ibu kalau kau sudah berubah.” Raut Rizal semakin sedih. “Kalau begitu aku mau pergi ke pasar dulu. Hari ini aku akan masak. Assalamu’alaikum!” Rizal berlalu dari hadapan Yaman. Hujan telah reda. Suara pintu ditutup terdengar di telinga Yaman tak beberapa lama setelah Yaman membuang rokoknya.
            Rizal! Dia adalah adik kandung Yaman. Sangat wajar jika ibunya menyuruh Rizal menyusulnya ke sini. Sudah lama dia tidak menghubunginya kecuali sebelum ia menjadi preman jalanan. Sekarang, adiknya memintanya untuk pulang. Yaman bingung. Apakah ia harus menuruti kata hatinya yang berkata bahwa ia harus menemui ibunya walaupun hanya sebentar? Tapi rasa malunya terus menggerogoti keinginan tersebut. dia merasa amat malu jika harus menatap mata ibunya yang bening.  Dia terlalu kotor. Dia merasa tak pantas menemui sang bidadari yang telah merawatnya tersebut. namun tidak bisa dinafikan kalau ia ingin sekali memeluk ibunya, mencium kakinya, menghapus air matanya di pipinya, dan mendapatkan belaian dari ibunya.
            Yaman semakin kalut. Yang hanya ingin dilakukannya sekarang adalah menenangkan pikiran. Segera saja diambilnya botol minuman keras yang ada di meja tamu. Diteguknya minuman itu sedikit demi sedikit. Hawa panas mulai menggerayangi tubunya. Terus dan terus diteguknya minuman haram itu. Sampai Yaman mulai tidak menyadari apa yang dia igaukan. Tubuhnya seakan melayang di udara. Akhirnya minuman memabukkan itu menjadi teman penghiburnya di saat dia sedang kacau balau.

* * *

            Yaman terbaring di tempat tidur. Ia baru sadar dari tidurnya. Kepalanya masih terasa sakit. Dilihatnya Rizal yang sedang membuat sesuatu di dapur. Tak lama kemudian Rizal datang membawakan secangkir teh.
            “Minumlah!” Rizal menyodorkan gelas kepada Yaman. “Mungkin ini bisa menyegarkan pikiranmu.” Yaman menatapnya tajam sambil memijat kepalanya yang sakit.
            “Letakkan saja!” Suruhnya. Rizal pun meletakkannya di atas meja di samping ranjang.
            Setelah  Rizal merasa Yaman sudah benar-benar sadar, iapun berkata,” Kenapa kau menjadi pemabuk, Kak?” yaman terkejut mendengar pertanyaan yang tidak disangkanya akan dilontarkan Rizal/ Yaman memandang langit-langit dan menghembuskan nafasnya.
            “Aku tidak lepas dari kebiasaan ini.”
            “Tapi ini kebiasaan buruk, Kak!”
            “Aku memang sudah buruk!”
            “Dulu kau tidak begini.”
            “Itu dulu dan bukan sekarang!”
            “Tidak terlambat untuk merubahnya, Kak…….,”Yaman memandang adiknya. Yaman menggelengkan kepalanya.
            “Terlalu sulit, Zal! Aku telah ditakdirkan untuk menempuh jalan hidup yang hina ini. Kejahatan talah menjadi teman hidupku. Dia mencintaiku, dan akupun mencintainya. Kebaikan hanya akan terasa hambar di hadapanku. Karena kebaikan itu sendiri tak pernah datang kepadaku. Tak pernah…….,” jelas Yaman panjang lebar.
            “Allah menunggu taubat orang-orang sepertimu, Kak,” sambung Rizal. Sekejab itu pula wajah Yaman yang semulanya sendu berubah menjadi geram. Sorot matanya berubah bagai elang yang ingin menyambar mangsanya. Dicengkramnya kerah baju Rizal.
            “Jangan sebut nama itu di hadapanku!” Teriak Yaman. Rizal sedikit ketakutan melihat perubahan yang terjadi dengan kakaknya.
            “Tapi Allah adalah Tuhan kita, Kak!”Ujar Rizal terbata-bata.
            “Bah! Tuhan apanya! Tuhan yang mana! Lihat Zal! Lihat! Bertahun-tahun aku menyembah-Nya! Bertahun-tahun aku memuji nama-Nya! Meminta belas kasih-Nya! Nyatanya, aku yang sudah hina ini dibuat-Nya lebih hina! Apakah pernah kesenangan dan kegembiraan datang kepadaku? Tidak pernah bukan! Buat apa Tuhan menciptakanku jikalau hanya untuk menyiksaku? Lebih baik aku tidak usah diciptakan saja! Atau…………..wujud Tuhan itu memang tidak ada sehingga kita ada dengan sendirinya! Dan semua doaku dan doa orang-orang yang tersiksa di sini tidak pernah tercapai karena  Tuhan yang disembah itu hanyalah khayalan belaka! Betul tidak apa yang kukatakan!”
            “Istighfar Kak! Istighfar! “Rizal mencoba menenangkan kakaknya. Nafas Yaman turun naik. Kemarahannya lambat laun mulai mereda. Yaman mulai mengendalikan emosinya. Dilepaskannya cengkraman tangannya dari kerah baju Rizal.
            “Kapan kau akan pulang?”
            “Aku akan pulang jika Kakak ikut bersamaku.”
            “Kau benar-benar keras kepala.”
            “Tapi tidak sekeras kepala Kakak. Aku mohon, Kak! Ini demi Ibu.” Rizal memegang  tangan kakaknya. Yaman hanya diam sambil menatap adiknya. Yaman bangun dari tempat tidurnya. Diambilnya jaket yang tergantung di sisi kamarnya.
            “Mau ke mana Kak?”
            “Aku mau mencari teman-temanku,” jawabnya singkat.
            “Tap…….”
            “Aku akan kembali jika tidak menemukan mereka.”
            “Jika kau menemukan mereka?”
            “Aku pun akan kembali ke sini. Tenanglah! Paling lama aku pergi Cuma dua hari, tidak lebih.” Rizal hanya dapat diam seribu bahasa mendengar jawaban kakaknya.
            “Aku akan mempertimbangkan permohonanmu,”lanjutnya. Senyum tersungging dari wajah Rizal.
            “Aku akan menunggumu, Kak,” ucapnya lirih.
            Angin menerpa wajah Yaman. Dirinya terombang-ambing. Dia masih larut dengan pikirannya. Apa yang akan diputuskannya?

* * *
            “Buat apa pulang ke kampung? Lebih baik kita rame-rame di sini. Ya nggak teman-teman?” Simon meminta persetujuan dari teman-temannya akan pernyataannya tadi. Sorak mereka menandakan bahwa mereka setuju dengannya.
            “Hei kawan! Di sini kita dapat bersenang-senang. Di kampung, apa yang akan kau lakukan? Bertani? Ha…ha…ha!” Ucok tertawa terbahak-bahak. Yang lainnya pun ikut tertawa. Yaman masih diam. Dia masih memikirkan permasalahan yang menimpa dirinya.
            “Sudahlah, Man! Nih!” Simon menyodorkan satu gelas alkohol. Yaman meliriknya sebentar. Ia menahan kehendaknya untuk minum. Ia ingin menyelesaikan permasalahannya dulu.
            “Ayolah! Apa yang terjadi denganmu? Padahal dulu sebelum kau masuk penjara, kau adalah orang yang paling hebat minum. Tapi sekarang, kau lebih mirip seekor ayam yang kehilangan tajinya.” Kata Ucok.
            “Kalian tidak mengerti keadaanku sekarang.”
            “Kami adalah orang yang paling mengerti keadaanmu sekarang,” sambungnya.
            “Kalian tidak membantuku memecahkan masalah sedikitpun.”
            “Kami memberikan solusi yang terbaik untukmu,”lanjut Simon penuh percaya diri. Yaman mengerutkan dahinya. Dipegangnya kepala yang terasa sakit mendengar ocehan temannya.
            “Apa kalian tahu di mana Asep, Ino, dan Mali berada sekarang?”
            “Kau masih mencari mereka?” Tanya Simon. Yaman semakin penasaran dengan keberadaan mereka.
            “Sementara ini kau lebih baik tidak usah mencari mereka dahulu.”Simon mengambil gelas dan meminum air keras yang ada di dalamnya, kemudian dia melanjutkan pembicaraannya,” perlu engkau ketahui, mereka sekarang adalah buronan. Kira-kira satu bulan lalu, mereka mengeroyok tukang parkir yang mangkal di pasar sampai mati. Polisi masih mencari mereka. Kalau kau tidak mau ikut terlibat, lupakan mereka untuk sementara waktu!” Simon menjelaskan dengan suara sedikit dikecilkan.
            “sudahlah Man!” Ucok menyenggol Yaman. “Cobalah dulu minuman ini! Kau tentunya sudah lama tidak merasakan kenikmatannya setelah sekian lama di dalam penjara,” lanjutnya bersemangat. Setelah dipaksa beberapa kali, akhirnya Yaman menuruti kehendak mereka. Mereka tertawa terbahak-bahak melihatnya. Mereka senang Yaman telah kembali ke habitatnya.
            Entah berapa botol agar membuat Yaman kehilangan kesadarannya. Teman-temannya pun terkejut melihat banyaknya air keras yang diminumnya. Mereka akui Yaman memang rajanya ‘tukang mabuk’!
            “Man! Sebaiknya kau lupakan dulu masalahmu itu! Lebih baik kita rayakan dulu kebebasanmu ini! Hidup Yaman!” Ujar Simon kegirangan. Yaman pun tersenyum. Dia telah melupakan sama sekali masalah yang dipikirkannya. Minuman keras telah membuatnya linglung. Dia pun kehilangan kesadarannya. Semuanya seperti melayang. Dunia terasa berputar. Yaman merasa keindahan dunia ada di tangannya saat ini. Dia lupa akan adiknya yang menunggunya di rumah. Ia telah larut dalam keheningan malam. Dan Yaman betul-betul tak sadar bahwa Tuhan terus mengawasinya!

* * *

            Yaman berjalan terhuyung-huyung. Dia bernyanyi keras sekali. Dia tak sadar lagi apa yang dilakukannya sekarang. Dia benar-benar mabuk!
            Ditelusurinya pinggiran jalan dengan sempoyongan. Dia hendak pulang ke rumah. Sebelumnya, teman-temannya yang masih sadar berniat untuk mengantarkannya pulang, tetapi Yaman bersikeras untuk pulang sendiri.
            Sekarang ia lebih mirip orang gila. Berteriak-teriak, bernyanyi, menari, tak ada yang memperdulikan orang yang sedang mabuk. Orang-orang di sekitarnya pun menghindari berjalan di dekatnya. Mereka takut kalau-kalau Yaman mengamuk. Tanpa disadarinya, kakinya membawanya berjalan ke tengah jalan. Sebuah mobil melaju cepat!
            Bruak!
            Tabrakan tak bisa dielakkan. Yaman terlempar jauh. Kepalanya berdarah. Orang-orang berlari menuju tempat kejadian. Sebenarnya mereka ingin menolong Yaman, tetapi mereka menjadi enggan setelah mengetahui kalau Yaman tertabrak karena mabuknya.
            Yaman tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Namun ia masih merasakan kehadirang orang-orang di sekelilingnya. Kesadarannya seakan-akan ingin pergi darinya. Dia berada di antara dua dunia. Dia merasakan seolah-olah langit menampakkan wujud ibunya yang sedang menangis dan memanggil-manggil namanya. Ingin Yaman menjawab panggilan tersebut, tapi apa daya, mulutnya seakan tidak mau mematuhi keinginannya lagi. Ibunya terus menangis. Samar-samar di belakang ibunya ada orang muncul, Rizal! Dia datang dan berdiri di belakang ibunya. Ia menatap Yaman sedih. Tak lama kemudian Rizal mengajak ibunya pergi. Yaman tak bisa berbuat apa-apa sampai kedua sosok itu pergi dari pandangannya. Tiba-tiba langit menggantinya dengan wujud teman-temannya. Asep, Ino, dan Mali. Mereka tampak menyeringai menatap Yaman yang tak berdaya. Dari raut muka mereka, Yaman mengetahui kalau mereka sekarang sedang mengolok-ngoloknya. Sedikit demi sedikit pemandangan itu menghilang.
            Kepala semakin terasa sakit. Darah terus mengalir begitu derasnya keluar dari batok kepalanya. Kali ini Yaman melihat seseorang berbaju putih datang turun dari langit. Yaman tak mengenalinya. Wajahnya pun tak bisa dilihatnya karena saking silaunya. Siapa dia? Entah kenapa Yaman menjadi ketakutan. Detak jantungnya melemah. Dengan cepat orang berjubah putih tersebut memegang kepala Yaman dan menarik sesuatu darinya. Yaman berteriak keras. Dirinya seakan dikuliti. Tulangnya seakan diremuk. Darahnya seakan dihisap habis. Yaman berada di penghujung hidupnya. Sakaratul maut yang menyakitkan sedang dijalaninya.  Dan akhirnya roh Yaman terbang bersama orang berjubah putih itu. Jikalau orang-orang yang ada di tempat itu mempunyai mata yang dapat menembus alam lain, maka akan terlihat Yaman yang sedang diseret paksa. Dan sekarang jasad Yaman tak memiliki roh lagi. Hanya seonggok mayat. Mayat orang berdosa!

* * *

            Di tempat yang jauh, Yaman berada di sebuah ruangan yang gelap, sempit, dan berbau. Dua orang berperawakan besar datang menemuinya. Wajah mereka sangat menyeramkan. Suaranya menggelegar. Dengan sorot mata yang tajam melebihi pedang, salah satu dari mereka berkata,”Siapa Tuhanmu?”
            Yaman terkejut mendengar pertanyaan itu. Dulu, dia pernah berbincang-bincang dengan adiknya Rizal, dan pertanyaan itu pernah dilontarka Yaman kepadanya. Namun ia telah lupa denga jawaban adiknya atas pertanyaan tersebut.
            Yaman hanya bisa diam seperti patung menatap dua sosok menyeramkan yang ada di hadapannya itu.


                                                                                                Darul Hijrah, 21 April 2007




                                                                                                 (Muhammad Qamaruddin)

                                                                                   
           

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?