Sabtu, 15 Oktober 2011

MENGAPA TAK KAU KATAKAN YANG SEJUJURNYA

            Allah Maha Mengetahui. Tak ada kehidupan yang tak menjadi perhatian-Nya. Semua bertasbih menyerukan nama-Nya. Manusia, hewan, tumbuhan, bahkan batu kerikil pun bertasbih mengharap rahman dan rahim-Nya. Allah telah berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku! Maka akan Kukabulkan untuk kalian!’
            Hari-hariku pun tak bisa lepas dari Sang Kholiq. Sedih, senang, suka, duka, semuanya bercampur aduk di dalam wadah yang dinamai kehidupan. Sabar dan syukur selalu menyertai.
            Ibuku hanya seorang penjual buku. Ya! Penjual buku dengan toko kecil, tak lebih dari itu. Ayahku sudah lama terkena stroke. Tak ada yang bisa dilakukan oleh ayah kecuali duduk di rumah sambil memandangi orang-orang berjalan lalu lalang di depan rumah dari jendela. Aku begitu kasihan kepada ayahku. Tapi aku lebih kasihan kepada ibuku. Beliau bekerja sendirian untuk menafkahi keluarga, untuk menafkahiku, memenuhi segala keperluanku. Itulah ibuku! Sungguh pengorbanan ibu tiada terkira.
            Dengan semua ujian ini, akupun tak lupa selalu bersyukur kepada Tuhan walaupun ibuku hanya seorang penjual buku, beliau masih bisa menyekolahkanku di pondok pesantren. Sebagian penghasilan beliau sisihkan untukku. Meskipun sebenarnya uang yang beliau kirimkan tak cukup untuk membayar uang bulanan dan kebutuhan sehari-hariku, aku menutupinya dengan bekerja di tempat ustadz Malik menjualkan tahu isi di sekeliling pondok pesantren. Dengan gajinya, aku bisa menambah kekurangan uang kiriman ibuku untuk membayar uang bulanan dan juga untuk perbendaharaanku sehari-hari.
            Lima tahun bukanlah suatu masa yang mudah bagiku untuk hidup di pondok. Seumpama kehidupanku tergambar di atas sebuah kertas putih kosong, maka kertas itu sekarang sudah tidak putih lagi, bermacam-macam warna telah tergambar di atasnya. Semuanya kulalui dengan kesabaran dan tidak lupa untuk selalu bersyukur atas karunia Tuhan. Dengan itulah aku masih tegar menginjakkan kaki di tanah suci tempat para santri memuji Tuhan dan rasul-Nya. Ibuku sangat berharap aku menjadi anak shaleh. Maka aku pun bertekad untuk tidak mengecewakannya, menyia-nyiakan setiap titik peluh yang telah mengalir di kulitnya, setiap jengkal jalan yang telah dilaluinya untuk memperoleh uang.
            Langit teduh oleh naungan awan-awan putih yang bervariasi bentuknya. Burung-burung masih berkicau riang. Meskipun matahari telah bergeser mendekati waktu dhuha. Aku duduk di samping pohon sambil menikmati semua ciptaan Allah.
            “Qan! Bel sudah berbunyi tuh! Ente mau terlambat ya?” seorang lelaki seumuranku memanggil dari jauh. Namanya Luqman. Sohib karibku sejak masuk pondok pesantren ini. Dia anak yatim piatu. Ayah dan ibunya sudah lama meninggal. Sejak kecil dia diasuh oleh pamannya yang berprofesi sebagai petani. Penghasilan yang sedikit membuat pamannya tak bisa memenuhi seluruh kebutuhan Luqman. Oleh sebab itu mau tak mau dia harus bekerja untuk menambah kekurangan uangnya. Kami sama-sama menjualkan tahu isi milik Ustadz Malik.
            “Eh Furqan! Bis-s-sur’ah!” Teriakan itu membuyarkan lamunanku. Aku beranjak dari tempat dudukku dan pergi menyusul Luqman. Hari yang indah. Allah memberiku seorang teman yang baik hati. Aku bersyukur atas karunia-Nya.

* * *

            “Qan! Kamu bosan nggak kerja kayak gini?” Tanya Luqman kepadaku.
            “Laa! Kupikir kalau nggak kerja seperti ini, bagaimana aku akan membayar uang bulanan?” Jawabku sambil membersihkan wadah tahu isi yang kotor.”Kan tinggal satu tahun lagi kita lulus dari sini,” lanjutku.
            “Iya juga ya…..,” setuju Luqman.” Harus sabar dong!” ujarnya lagi.
            “Itulah yang harus dimiliki oleh seluruh pemuda pemudi muslim di dunia. Tanpa sifat sabar, kita tidak bisa menjadi seorang muslim sejati.” Luqman mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui apa yang aku sampaikan.
            “Qan! Kita ke kamar yuk!” Ajaknya.
            “Sebentar! Tinggal beberapa sendok kotor lagi, pekerjaanku selesai.”
            Kami sekarang ada di jalan. Ustadz Malik membekali kami beberapa potong tahu isi sisa penjualan yang belum habis. Walaupun sisa, tapi tetap enak karena masih hangat. Kami berjalan sambil berbincang-bincang.
            Dari kejauhan, kami melihat kerumunan santri di depan kamar kami. Dari gelagat mereka, sepertinya ada yang ingin mereka lihat dari dalam kamar. Dan……itu ustadz Irfan! Ustadz Irfan ada di sana! Beliau masuk ke dalam kamar. Apa yang telah terjadi? Ustadz Irfan adalah pembimbing bagian keamanan pondok pesantren. Kalau sampai beliau turun langsung ke lapangan, ini pasti masalah yang rumit dan sulit. Apa yang telah terjadi?
            “Ada apa ya Qan?” Tanya Luqman penasaran.
            “Aku juga tidak tahu,” Jawabku.
            “Kita lihat yuk!” Ajaknya. Semulanya aku enggan menuruti keinginannya. Aku lebih suka pergi belajar di kelas daripada ikut berjejal bersama santri-santri di depan kamar yang sebenarnya adalah kamarku dan Luqman sendiri. Sepertinya aku juga merasakan firasat buruk. Tapi akhirnya bujukan Luqman mengalahkan keenggananku.
            Kerumanan para santri membuat kami sulit melihat apa yang sedang terjadi. Walaupun begitu, aku masih bisa melihat ustadz Irfan bersama Yazid. Tak beberapa lama kemudian, aku ditarik oleh seseorang. Dia menyeretku masuk ke dalam kamar.
            “Hei! Apa yang kau lakukan?” Tanyaku. Aku merasa malu diperlakukan seperti ini. Apalagi banyak santri yang masih ingin melihat apa yang terjadi di kamar dibuat kesal karena orang yang menarikku ini tanpa rasa minder terus mendorong menerobos masuk ke dalam kamar.
            “Diam kamu!” aku baru sadar kalau yang menarikku ini adalah orang yang sangat tidak aku sukai, Bagus!
            “Ustadz Irfan!”Panggil Bagus ketika sudah sampai ke dalam kamar. Ustadz Irfan pun menoleh kepada kami. Kenapa Bagus membawaku ke dalam kamar?
            “Ini dia orangnya Ustadz!” ucap Bagus dengan penuh keyakinan. Aku orangnya? Apa maksudnya? “Hei Faqir!” teriakan yang selalu terucap dari mulutnya jika bertemu aku. Dia memang selalu memanggilku dengan sebutan ‘Faqir’, kurasa nama itu diperolehnya dari memplesetkan namanku, Furqan. Dia merasa aku lebih cocok dipanggil Faqir ketimbang Furqan. Miskin, itulah kurang lebih arti dari faqir.
“Hei Faqir! Kamu kan yang mengambil uang Yazid!” Teriakan itu membuat dadaku bergemuruh. Astaghfirullah! Aku meminta ampun kepada Allah! Apa katanya tadi? Aku mengambil uang Yazid?
            “Bagus! Jangan menuduh orang sembarangan!” Ustadz Irfan memperingatkan Bagus. Bagus menahan emosinya. Kepalan tangannya masih terlihat jelas di mataku. Aku mengalihkan pandangan, Yazid……dia duduk termenung di ujung kamar. Sepintas ia memandangku, tapi itu hanya beberapa saat. Ustadz Irfan mendekatiku.
            “Afwan atas perkataan Bagus tadi,” kata ustadz Irfan.
            “Laa ba’sa ya Ustadz,” jawabku.”Sebenarnya apa yang telah terjadi?”
            “Luqman ada?” Tanya ustadz Irfan. Beliau tidak langsung menjawab pertanyaanku
            “Ada Ustadz, di luar.”
            “Bisa dipanggilkan ke dalam? Sekalian saya bisa menjelaskan perkara ini kepada kalian berdua.”
            Saya dan Luqman berdiri di hadapan ustadz Irfan. Beliau menatap kami berdua. Bagus berdiri di depan pintu. Yazid masih duduk sedih.
            “Furqan, Luqman! Ustadz mendapat laporan bahwa teman kalian Yazid baru saja kehilangan uangnya.” Beliau menatap Yazid sesaat, lalu melanjutkan pembicaraannya.”Kalian tahu berapa jumlah uang yang ada di dalamnya?” Kami menggelengkan kepala kami.” Satu juta lima ratus!”
            Aku begitu terkejut mendengarnya. Luqman pun memegang dadanya pertanda dia juga terkejut oleh kabar itu. Jumlah uang yang banyak sekali. Seumur-umur akupun tak pernah memegang uang segitu banyaknya. Kualihkan pandanganku ke tempat Yazid duduk. Dia begitu sedih sekali.
            “Kata Yazid rencananya uang itu akan digunakannya untuk membayar uang bulanan yang menunggak enam bulan,” Ustadz Irfan mendesah.”Ustadz di sini tidak menuduhmu, tapi…………,”beliau menghentikan ucapannya.” Hanya lemarimu dan lemari Luqman yang belum diperiksa,” lanjutnya.
            Sekarang aku baru mengerti kenapa aku dicurigai. Semua lemari sudah diperiksa kecuali lemariku dan lemari Luqman. Namun apa yang harus aku takuti? Toh, aku juga tidak merasa mengambilnya. Atau Luqman? Aku yakin dia tak akan pernah mau melakukan perbuatan hina tersebut.
            “Sekarang saya mengerti kenapa saya dicurigai. Kalau Ustadz mau memeriksa, silahkan. Yang pastinya saya tidak pernah melakukannya,” ucapku pasti.
            Kuserahkan kunci lemariku. Luqman pun menyerahkan kunci lemarinya. Bagus masih dengan muka penuh emosinya. Dalam hati aku berharap semoga Bagus dapat memperbaiki sikapnya.
            Lemari Luqman sudah diobrak-obrak. Tak ada tanda-tanda kalau dompet Yazid ada di sana. Lemariku pun tak kalah berantakannya. Semua habis dikeluarkan. Tak ada yang tersisa. Cukup membuktikan kalau aku tak bersalah.
            “Liman haadza?” Ustadz menunjukkan sebuah dompet yang tidak kukenal.
            “Laa a’rif ya Ustadz,”kataku. Entah kenapa aku menjadi gugup.
            “Yazid! Apa ini punyamu?” Yazid memperhatikan dompet itu seksama. Didekatinya ustadz Irfan. Ustadz Irfan memberikan dompet itu kepadanya agar bisa diperiksa lebih teliti. Dibukanya dompet itu.
            “Ya Allah! Jumlah uang di dompet ini satu juta lima ratus pas! Dan, ini Ustadz……,” Yazid mengeluarkan tanda pengenal santri. Jelas tertera di sana fhoto dan namanya. Jantungku berdegup kencang. Aku menjadi takut. Apakah benar dompet itu punya Yazid? Lalu kenapa ada di dalam lemariku?
            “Furqan……..kenapa kau lakukan ini?” Yazid memandangku tak percaya. Aku tegang. Aku yakin, aku pasti sedang difitnah.
            “Yazid! Demi Allah! Aku benar-benar tidak tahu kenapa dompet itu ada di dalam lemariku! Percayalah kepadaku!” Aku membela diri.
            “Ketika Ustadz Irfan menunjukkan dompet ini, aku tak terlalu menanggapinya. Memang dompet ini mirip dengan dompetku, tapi aku tak ingin berprasangka buruk denganmu. Aku percaya kau tak mungkin melakukannya. Namun setelah kuperiksa dalamnya. Ternyata…….uangnya, tanda pengenal santri yang ada di dalam dompet ini………..aku tak mungkin salah, Qan! Ini adalah milikku!” Jelasnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dompet itu ditemukan di dalam lemariku. Bagaimana aku membuktikan kalau aku tidak bersalah? Bagaimana?
            “Yazid, bagaimana aku harus meyakinkanmu kalau aku tidak bersalah? Demi Allah! Aku,…..aku……pasti sedang difitnah!” Aku berharap dia percaya kepadaku. Tetapi dia tidak lagi mengindahkan semua pembelaanku. Yazid keluar tanpa menoleh siapapun. Dia marah. Dengan jelas aku pun mendengar suara santri-santri yang ada di luar meneriakkan namaku. Ada yang mengumpat, ada yang mengejek, ada yang tak percaya, ada pula yang marah-marah ingin memukul. Ya Allah! Apa dosaku sehingga aku mengalami hal buruk seperti ini? Buk! Sebuah tamparan tepat mengenai pipi kananku. Sakit sekali.
            “Dasar orang miskin! Dari pertama aku sudah menduga kalau kau adalah pelakunya! Kau tidak pantas di sini! Dasar pencuri! Tanganmu pantas dipotong! Kau pantas diusir!” Teriak Bagus.
            “Bagus! Jangan main hakim sendiri!” Ustadz Irfan mengangkat suaranya untuk memperingatkan perbuatan Bagus.” Dan kau!” Beliau mengalihkan pandangannya kepadaku.”Ikut saya ke kantor!” Beliau pun keluar dari kamar. Bagus mengiringinya di belakang. dia mengacungkan jari telunjuknya kepadaku seakan mengancam ingin memukulku lagi. Para santri yang menonton di luar kamar telah membubarkan diri setelah instruksi dari Ustadz Irfan. Semuanya berteriak kepadaku ketika aku keluar dari kamar. Mereka semua memandangku marah. Mereka menyangka akulah pelakunya. Ingin rasanya berteriak kepada mereka bahwa bukan aku pelakunya. Tidak ada gunanya. Luqman mendekatiku dan memegang pundakku.
            “Sabar Qan! Semua akan baik-baik saja…….,” dia mencoba menghiburku. Tak terasa air mataku keluar membasahi pipiku. Aku sangat terpukul dengan kejadian ini. Baru kali ini aku mengalami hal yang sangat memalukan ini. Siapa yang begitu tega memfitnahku? Ya Allah! Tolong hamba-Mu ini! Tunjukkan kepada mereka bahwa aku tak bersalah!

Liman haadza?                    : punya siapa ini?
La ‘arif ya Ustadz              : saya tidak tahu wahai Ustadz


* * *

            Aku berusaha untuk tetap tersenyum meskipun dalam kesedihan yang mendalam. Semua orang menudingku. Tak ada yang mempercayaiku. Bahkan ustadz Irfan pun tak lagi kasihan kepadaku. Aku mengambil keputusan yang sangat berat. Aku minta diberhentikan dari pondok pesantren ini! Keberadaanku tak diperlukan lagi di sini. Semua pembelaanku tidak dihiraukan. Ustadz Irfan lebih percaya kepada Bagus dan komplotannya. Kemiskinanku pun menjadi pendukung. Inilah akhir cerita hidupku di pondok.
            Demi Allah! Kalau bukan karena tekanan batin, aku takkan sudi pergi dari sini. Aku akan terus membela diri. Tapi aku tidak mau memaksakan diri. Kukatakan kepada ustadz Irfan kalau aku meminta pemberhentian ini bukan karena aku mengakui dakwaan kepadaku. Sampai matipun aku takkan mengakui sebuah perbuatan yang tidak pernah kuperbuat. Tapi aku melakukannya karena beberapa alasan. Salah satunya, jika aku meneruskan sekolahku di sini, niscaya aku akan sangat tertekan oleh orang-orang yang benar-benar telah meyakini bahwa aku adalah pencurinya. Toh, aku juga tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan sekolahku di sini. Ustadz Malik sudah mendengar berita ini. Beliau mengirim pesan melalui Luqman kalau aku sudah dipecat. Apalagi yang aku harapkan dari pondok pesantren ini?
            Yang ingin kulakukan sekarang adalah membantu Ibuku bekerja. Beliau terlalu lelah untuk bekerja. Terlalu letih di usianya yang senja. Sudah saatnya aku menggantikannya bekerja. Dan kurasa bekal ilmuku cukup banyak walaupun aku tidak menghabiskan sekolahku di sini. Aku ingin sekali membaktikan diriku padanya. Menjadi anak shaleh seperti yang diharapkannya. Inilah yang kusampaikan kepada ustadz Irfan. Namun semua penjelasanku ini dianggap beliau hanya sebagai alasan untuk tidak mengakui kesalahan. Aku kecewa kepada ustadz Irfan. Sebagai pembimbing bagian keamanan, beliau malah bersikap acuh kepadaku. Tak ada kebijaksanaan tersirat di wajahnya ketika aku berhadapan dengan beliau. Apakah karena kemiskinanku? Atau karena bualan Bagus?
            Aku tak terlalu memikirkannya lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Aku harus yakin dengan apa yang kupilih saat ini. Yang harus kupikirkan sekarang adalah cerita selanjutnya. Apa yang harus kukatakan kepada ibuku jika beliau menanyakan hal ihwal kenapa aku keluar dari pondok. apa aku harus mengatakan bahwa aku keluar karena diusir sebabku mencuri? Tidak! Dengarlah wahai ibu! Aku tidak pernah melakukannya! Anakmu  bersih! Anakmu suci! Apapun kata orang, Allah mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
            Masih teringat air mata yang menitik membasahi sajadah tuaku malam tadi ketika melaksanakan shalat tahajjud. Aku tak mengira kalau malam itu adalah malam terakhirku di pondok pesantren ini. Aku memanjatkan doa kepada-Nya semoga ini adalah yang terbaik untukku. Malam itu, Luqman terus memberiku semangat. Hingga larut malam dia terus menemaniku berbicara. Luqman terus membujukku untuk berpikir sekali lagi tentang keputusanku. Tapi tidak ada keraguan lagi dengannya. Keputusanku sudah bulat, aku akan keluar dari pondok!
            Aku sudah berkemas. Kumasukkan semua barangku ke dalam tas butut yang kubeli dari hasil jerih payahku berjualan tahu isi. Tak ada yang menghiraukan kepergianku. Semuanya sibuk dengan dengan pekerjaannya masing-masing. Betul apa yang dikatakan, aku memang tidak diperlukan lagi di sini.
            Uh! Jika aku mengingat hal itu, hatiku semakin menjerit. Tak perlulah aku  berteriak kepada orang-orang itu tentang kesedihanku, cukup Allah saja yang tahu kalau aku sekarang dalam sedang dilanda kesedihan yang luar biasa. Ya Allah! Tegarkan diriku! Masukkan aku ke dalam golongan hamba yang Engkau cintai, yaitu golongan orang-orang yang bersabar!
            Di ambang pintu gerbang, kupandangi pondok pesantren tercintaku ini. Apakah ini kali akhir aku akan melihatnya? Pondok yang telah mendidikku kurang lebih lima tahun ini? Aku sangat mencintai pondok ini, sangat mencintai! Siapa yang tak akan sedih jika harus meninggalkan sesuatu yang sangat dicintainya? Air mataku semakin banyak merembes keluar. Ya Allah! Kenapa kau pisahkan aku dengan pondok ini? Di sini aku menyembah-Mu, memuji rasul-Mu, kualunkan ayat-ayatmu. Tapi di luar sana? Mengingat hal itu, hatiku semakin terkoyak. Sangat menyakitkan. Tapi aku harus tegar menghadapinya. Hidup adalah perjuangan, dan perjuangan seorang muslim penuh dengan penderitaan. Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan penderitaan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Ya Allah! Berikanlah aku kekuatan untuk menghadapinya!
            Kuseka air mataku dengan tanganku. Aneh, aku tidak melihat Luqman dari tadi pagi. Kuingat-ingat sebelumya, setelah shalat subuh tadi, aku melihat lemarinya sudah tertutup rapat. Ke mana dia? mungkin sekarang dia sedang sibuk. Tidak apa-apa. Aku sudah terhibur dengan kehadirannya malam tadi untuk menghiburku.
            Ada suatu hal yang masih mengganjal di pikiranku saat ini. Siapa yang begitu tega meletakkan dompet Yazid di dalam lemariku? Entahlah. Semoga Allah mengampuni kesalahannya itu.
            Kuucapkan selamat tinggal kepada pondokku tercinta, kepada para asatidzah yang kuhormati, seluruh teman-temanku yang kusayangi, selamat tinggal!.
            “Jangan pergi dulu!” seseorang memanggilku. Ustadz Irfan!”Ada yang harus kusampaikan kepadamu.”

* * *

Kepada
Furqan, teman baikku
Di tempat suci para santri memuji Allah dan rasul-Nya

Assalamu’alakum Wr. Wb.
Bismillahirrahmaanirrahiim
            Semoga maghfirah dilimpahkan kepadamu dan juga kepada diriku yang hina, memalukan, berhati busuk, berbadan domba tetapi berhati serigala. Aku memanjatkan doa semoga Allah menyertaimu ke manapun kau malangkahkan kaki.
            Furqan teman baikku!
            Kukirimkan surat ini diiringi perasaan bersalah kepadamu, teman sehidup sematiku.Mungkin kau masih menebak-nebak siapa yang begitu tega memfitnahmu. Tidak usahlah kau berburuk sangka kepada siapapun, karena sang pemfitnah yang kau cari itu telah kau dapatkan. Dialah Luqman Al-Hakim! Dialah orangnya! Teman akrabmu sejak masuk pondok ini sampai sekarang ( kalau kau masih mengakuinya), Furqan teman baikku!
                        Furqan teman baikku!
            Sebelum kau beranjak pergi dari tempat kau membaca surat ini, melemparkan surat ini ke dalam tempat sampah, atau membakarnya, aku akan menjelaskan kenapa aku melakukan hal memalukan ini. Aku berharap semoga kau memahaminya.
            Furqan teman baikku!
            Perlu engkau ketahui, sejak dua bulan yang lalu, pamanku tidak bisa lagi bekerja. Bertambahnya umur membuatnya sering sakit-sakitan. Dan sudah engkau ketahui sebelumnya, meskipun pamanku sudah bekerja keras, aku tetap saja tidak bisa membayar uang bulanan sepenuhnya. Apalagi dengan keadaannya sekarang. Aku tidak bisa memaksakannya. Pamanku menyerahkan semua keputusan kepadaku. Dia tidak bisa lagi mencarikanku uang untuk sekolah. Beliau berkata bahwa seandainya aku ingin terus sekolah di sini, maka aku harus berjuang sendiri untuk membiayai sekolahku. Terus terang Furqan, aku betul-betul bingung. Aku sangat mencintai pondok ini dan aku tak mau pergi darinya sebelum aku benar-benar menghabiskan sekolahku di sini. Apa yang harus kulakukan? Dan keadaan itu terus berjalan sampai sekarang.
 Hingga pada suatu hari aku melihat lemari Yazid tidak berkunci. Sekilas kulihat dompet di dalamnya. Saat itu tak ada seorang pun di dalam kamar. Aku sendirian. Entah setan mana yang merasuk ke dalam pikiranku. Akhirnya aku mengambil dompet tersebut. Aku sangat terkejut ketika mengetahui uang yang ada di dalamnya. Satu juta lima ratus! Banyak sekali! Bahkan akupun tak pernah memegang uang sebanyak itu. Pertama aku melihatnya, tanganku bergetar. Demi Allah! Aku sangat takut saat itu. tapi tekadku sudah bulat. Aku ingin melanjutkan sekolahku di sini. Wujud Tuhan telah hilang. Aku menghalalkan cara kotor ini untuk memecahkan masalah.
            Furqan teman baikku!
            Sekarang coba pikirkan! Seandainya aku mengambil uang Yazid yang banyak itu, kemudian aku membayarkannya untuk SPP, mereka akan bertanya-tanya darimana aku mendapatkan uang. Tentu perbuatanku ini akan ketahuan sedikit demi sedikit. Tak dapat disangkal lagi, ribuan setan telah merasuk ke dalam pikiranku dan ragaku. Rasa takutku kepada Tuhan raib seketika entah kemana. Setan membantuku untuk berpikir. Aku berupaya keras supaya permasalahanku ini terpecahkan. Saat itulah aku ingat dirimu, Furqan. Kita sama-sama berjualan tahu isi. Dengan gajinya kita membayar SPP. Kita membagi gaji tersebut sehingga jumlah yang tadinya banyak menjadi sedikit. Aku berpikir jika kesalahan ini ditimpakan kepadamu, aku yakin kau akan diusir dari pondok. Kemiskinan yang kau sandang membuat rencanaku ini terasa didukung dengan sendirinya. Dan kalaupun memang kau selamat dari pengusiran, namamu akan tetap tercoreng karena peristiwa tersebut, dan Ustadz Malik tak akan menyukai hal itu. pikirku kau akan tetap dipecat oleh beliau. Dengan jumlah gaji yang utuh, aku pun dapat SPP tanpa harus memakai uang yang ada di dalam dompet Yazid.
            Furqan teman baikku!
            Demi Allah dan rasul-Nya! Aku berpikir keras untuk melakukan hal gila ini. Jujur dari lubuk hatiku paling dalam aku sangat mencintaimu layaknya cinta seseorang kepada saudara kandungnya. Hatiku bergejolak. Tapi aku harus melakukannya jika ingin tetap bertahan di pondok ini. Dengan sangat terpaksa aku harus memutuskan ikatan ini. Aku harus melanjutkan sekolahku di sini. Maafkan aku kawan! Semua yang kulakukan ini murni atas kekhilafanku sendiri, tak ada hubungannya denganmu. Kau hanya menjadi kambing hitam di balik perbuatan bejat ini.
            Furqan teman baikku!
            Dengan surat ini kunyatakan bahwa kau tak bersalah! Kembalilah dan jangan pergi! Cukup sang durjana ini yang pergi membawa dosa. Cukup aku yang menanggung malu. Semuanya telah kuceritakan kepada Ustadz Irfan dari awal hingga akhir. Dan beliau pun memahaminya. Kuharap kau pun memahamiku. Maafkan aku kawan! Aku begitu tega melakukannya. Tapi sebelum kau pergi karena menanggung dosa orang lain ,biarlah aku sang pembuat dosa yang pergi. Aku takkan pernah melupakan persahabatan kita ini. Dirimu akan selalu ada di hatiku. Selamanya!


WASSALAM


                                                                                    Dari temanmu,
                                                                                    Sang pemfitnah yang tak termaafkan






                                                                                    Luqman Al-Hakim

            Aku menangis sejadi-jadinya. Kupeluk erat surat yang ada di hadapanku ini seakan dialah Luqman. Teman yang sangat kukasihi. Teman yang sangat kusayangi. Oh Luqman! Kenapa kau lakukan perbuatan keji tersebut? Kenapa tak kau katakan sejujurnya apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau lupa bahwa Allah selalu ada dan Dia selalu bersama kita? Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Kenapa tidak kau adukan kepada-Nya?
            Ya Allah! Kenapa skenario yang kau buat ini begitu menyedihkan? Kenapa harus Luqman yang melakukannya? Kenapa harus dia yang menjadi tokoh utama di dalam cerita menyedihkan ini? Kenapa bukan orang lain? Beribu pertanyaan terus bergema di gendang telingaku. Aku terus menangis…menangis…dan menangis



                                                                                                Darul Hijrah, 15 April 2007


                                                                                               Muhammad Qamaruddin

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?