Matahari semakin merunduk malu di timur. Cahaya sang surya hanya dapat mengintip dari sela-sela mega awan. Warna terang perlahan pergi, berkurang sedikit demi sedikit. Siang siap-siap berkemas pergi dari pandangan. Bunga-bunga yang kusirami laksana mengucapkan selamat tinggal kepada hari. Ia seakan-akan mengucapkan sampai jumpa, karena beberapa jam lagi sang malam akan mengganti kedudukan terangnya siang. Aku duduk di teras rumah sambil merasakan syahdunya suasana di sore itu. Angin membelai lembut rambutku yang telah memutih pucat. Begitu tenangnya jiwa dibuatnya.
Menyiram bunga di depan rumah pada sore hari adalah salah satu pekerjaan favoritku. Selain dapat mengisi waktu senggangku, aku juga dapat berbincang-bincang dengan tetangga yang kadang singgah di depan rumahku. Kesendirianku di hari tua menimbulkan banyak simpati dari para tetangga. Oleh karena itulah mereka sering singgah apabila aku sedang duduk di teras rumah.
“Apa nenek tidak merasa kesepian sendiri di rumah?” Tanya salah seorang tetanggaku suatu kali. Pak Marwan namanya. Aku menatapnya lembut.
“Nenek tidak sendiri. Ada yang menemani kok,” jawabku tenang seraya menunjuk ke atas. ia paham apa yang kumaksud. Dalam kesendirianku ini, hanya Allahlah yang jadi temanku. “Tapi Nenek lebih senang kalau semua anak-anak Nenek berkumpul di sini, di rumah ini,” lanjutku.
Terbayang kembali kenangan ketika anak-anakku masih tinggal di rumah ini. sekarang…mereka sudah mempunyai rumah masing-masing. Sedangkan aku tetap bersikeras tinggal di rumah ini. Aku tidak akan mungkin meninggalkan rumah yang telah dibeli suamiku dari hasil jerih payahnya bekerja. Aku ingin di penutup usia, rumah inilah menjadi tempat terakhirku menatap suasana dunia yang semakin renta.
Senja mulai tampak. Hari semakin gelap. Sayup-sayup terdengar alunan bacaan al-Qur’an dari mesjid di kampungku. Sebentar lagi maghrib akan tiba. Aku perlahan berdiri dari tempat dudukku. Uh! Rasanya kaki ini sudah sangat lemah untuk berpijak. Kaki ini pun kadang enggan untuk berjalan. Aku memang sudah tidak muda lagi. Rasanya ini adalah hal yang lumrah terjadi pada siapa pun di hari tuanya.
Aku melangkah lambat memasuki rumah. Setelah mengunci pintu, aku berjalan menuju kamar. Belum sampai aku memasuki kamar, langkahku terhenti di samping figura tua dengan sebuah photo yang sangat buram. Photo itu tidak berwarna, hanya hitam putih. Di dalamnya terdapat dua orang pasangan pria wanita yang sedang berpose dengan baju yang sangat kuno. itulah aku bersama suamiku, Jafar. Perlahan aku ambil photo itu dan kudekatkan pada pandanganku. ‘Suamiku…sudah lama sekali sejak kau meninggalkanku sendiri. Tapi lihatlah, aku masih setia denganmu dalam kesendirianku. Kau adalah cinta terakhirku, sampai mati’, batinku berujar.
Ja’far telah lebih dulu dijemput oleh Yang Maha Kuasa, tepat ketika aku mengandung anak ketiganya. Aku tetap setia kepada Ja’far walaupun ia sudah meninggalkanku puluhan tahun lamanya. Tak terasa air mataku menetes tepat di atas kaca figura. Kusapu air mata tersebut yang sedikit menggumpal karena debu. Aku pun meletakkan kembali figura tersebut pada tempatnya. Sekali lagi kutatap wajah suamiku.
‘Kau mirip sekali dengan cucumu, Hasan. Ia sangat gagah seperti dirimu’. Aku pun tersenyum seraya mengusap air mata di mukaku. Lambat laun ingatanku tertuju kepada salah satu cucuku, Hasan. Sudah lama sekali ia tidak menjengukku. Lama sekali…
* * *
Sejak suamiku telah tiada, aku mengurus ketiga anakku sendirian. Syari’ah, Syarifah, dan si bungsu laki-laki, Ahmad. Aku mempunyai sebuah toko baju. Bersama suamiku, Ja’far, kami membuka toko ini ketika ia masih hidup. Ketika aku telah menjadi janda, orang-orang menjadi iba. Mereka pun tidak yakin akan kemampuanku dalam mengurusi toko tersebut. Apalagi dengan ditambah tiga orang anak yang masih kecil. Namun kenyataannya, di bawah kepemimpinanku, toko tersebut semakin besar dan berkembang. Aku pun dapat menghidupi ketiga anakku.
Sekarang, di masa tuaku ini, aku mempercayakan toko tersebut kepada Syari’ah dan Syarifah. Toko ini sudah besar sekali, aku membagi hak kekuasaan atas toko ini. aku memberikan Syari’ah sebuah toko yang berada di pusat. Untuk syarifah, aku memberikan salah satu cabang tokoku yang kini juga telah menjadi sangat besar. Sedangkan beberapa cabang sisanya, aku menyerahkan kepada mereka untuk dibagi secara merata.
Dalam hal berdagang, Syari’ah dan Syarifah mempunyai karakter yang hampir sama denganku. Sedangkan Ahmad, si anak bungsu, ia telah bekerja di salah satu perusahaan terkenal di kota. Lihatlah! Seluruh anakku telah sukses! Aku bisa mengurus mereka walaupun hanya sendiri.
Sayangnya, sejak seluruh anak-anakku mempunyai keluarga, air kebahagiaan itu perlahan merembes entah kemana. Mereka kini telah mempunyai rumah sendiri, hasil kerja keras mereka. Terus terang aku bangga, tapi di sisi lain aku merasa kesepian. Tak ada lagi suara anak-anakku. Tak ada lagi tertawa bersama. Tak ada lagi canda anak-anakku. Yang ada hanya bayang-bayang masa lalu. Indah sekali.
“Bu, saya mohon, ikutlah denganku…,” bujuk Syari’ah suatu hari. ia adalah orang yang terakhir pergi. Ia telah mempunyai rumah bersama suaminya.
“Syari’ah…Rumah ini adalah rumah yang Ibu bangun bersama almarhum Bapakmu,” ucapku pelan. “Biarkanlah Ibu menikmati hari tua Ibu di sini, tempat yang sangat bersejarah bagi Ibu…bersama Bapakmu, juga bersama kalian ketika waktu kecil dulu”. Sejak saat itu anak-anakku tidak pernah lagi memaksa. Walaupun suasana tidak seperti dahulu, mereka masih rajin menjengukku. Awalnya…lambat laun aku semakin jarang dijenguk.
* * *
“Namanya Hasan, Bu,” Syari’ah memberitahu nama bayi mungil yang lucu ini. aku menggendongnya dengan penuh kasih sayang. Matanya mengingatkanku pada seseorang yang sangat kucintai yang kini telah pergi mendahuluiku. Ja’far…kini kita telah mempunyai seorang cucu.
Hasan adalah cucu pertamaku yang lahir dari rahim anakku, Syari’ah. Sejak kecil, apabila Ayah dan Ibunya sibuk, maka Hasan akan dititipkan kepadaku. Ialah hiburan dalam kesendirianku. Kehadirannya memberi warna dalam kehidupanku. Kesunyianku sirna karenanya. Kesepianku sedikit terobati.
“Kasihan Nenek di rumah sendirian,” ucap Hasan kepada Ibunya suatu hari. Saat itu ia berumur lima tahun. Hasan sering kali minta kepada Ibunya agar diizinkan menginap di rumahku. Ibunya selalu mengizinkan walaupun sedikit takut jikalau kehadirannya malah akan menggangguku.
“Hasan tidak pernah mengganggu. Ia adalah anak yang baik. Bahkan Nenek senang Hasan sering menginap di sini. Nenek jadi tidak kesepian,” jelasku kepada Syari’ah sambil tertawa kecil. Hasan mendengarkan penjelasan tersebut sambil manggaruk-garukkan kepalanya, tandanya ia malu-malu.
Selain Bapaknya, akulah orang yang selalu mengajarinya mengaji. ia sangat senang apabila aku membacakannya ayat-ayat al-Qur’an. Hasan kecil telah menunjukkan cintanya terhadap al-Qur’an.
“Lebih enakan belajar ngajinya dengan Nenek. Kalau dengan Bapak, sering dimarahin,” beritahunya ketika sedang belajar mengaji denganku. Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan polosnya. Dari lubuk hati, aku selalu mendoakan Hasan, semoga ia menjadi orang yang menjunjung tinggi nama Islam.
Pernah suatu kali aku mengajaknya jalan-jalan sore di sekitar rumah. Ketika melewati sebuah kedai makanan, ia langsung berlari mendatanginya dan mengambil dua permen lolipop. Kemudian ia pun kembali menghampiriku.
“Nek, aku mau permen ini,” ujarnya kepadaku. Sebenarnya aku tahu, Ibunya sangat melarang makan permen. Namun keibaanku mengalahkannya.
“Iya…tapi satu aja ya.” Aku mengiyakan. Raut mukanya sedikit cemberut.
“Tapi Hasan mau dua, Nek. Satunya buat Nenek,” jelasnya lagi. Tingkah pongahnya memang selalu membuat aku terhibur. Keinginannya untuk berbagi sangat jelas, walaupun hanya sekedar permen lolipop.
“Nenek tidak bisa makan permen. Kasihan gigi palsu Nenek,” jawabku seraya melepaskan gigi palsuku. Ia terkejut melihat gigi yang bisa dilepas dari mulut.
“Owh…Hasan paham. Gigi Nenek sudah tidak kuat untuk makan permen karena sudah tua. Kalau begitu pakai saja gigi Hasan,” tandasnya. Setelah itu ia mencoba untuk melepaskan giginya, tapi tetap tidak bisa. Tentu saja aku tertawa kecil melihat tingkah polosnya. Ia juga ikut tertawa karena melihatku yang tertawa tanpa memakai gigi palsu.
Hasan…Kamu selalu menghibur Nenek….
* * *
Sejak Hasan masuk pesantren, maka hari-hariku pun kembali sunyi. Tak ada lagi tawa cucu kecilku. Kembali sepi. Anak-anakku pun terus berjibaku dengan kesibukannya. Mereka semakin jarang menengokku. Padahal badanku semakin renta.
“Nek, kenapa tidak mau tinggal bersama dengan Ibu?” Tanya Hasan kepadaku sebelum pergi ke pondok pesantren.
“Tanyalah Ibumu, maka kamu akan paham kenapa Nenek tidak mau meninggalkan rumah ini,” jelasku kepadanya. Setelah ia paham, ia tidak pernah lagi mempertanyakannya.
Pilu aku melihatnya. Sendu hati dibuatnya. Tak bisa lagi kutahan airmata. Sudah kesekian kalinya jilbab tua ini menyapu tetesnya. Itulah hari ketika Hasan berangkat untuk mondok. Aku tahu, ia akan jarang pulang ke rumah. Setelah menyalami Ayah Ibunya, ia pun menghampiriku.
“Nenek jangan nangis. Bersabarlah. Insya Allah kalau Hasan pulang, Hasan pasti akan ke rumah Nenek,” hiburnya seraya memelukku.
“Nenek selalu mendoakan agar Hasan menjadi orang yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. Doa Nenek selalu menyertai kemanapun Hasan pergi. Doakan juga Nenek agar diberikan umur yang panjang. Nenek ingin sekali melihat Hasan ketika sukses nanti.” Kali ini aku benar-benar tidak menahan lagi. Aku menangis cecegukan. Mungkin inilah bukti nyata cinta seorang nenek kepada cucunya. Nenek sangat sayang kepadamu, Hasan.
Saat ia mencium tanganku, terasa sekali air matanya merembes ke tanganku. Sebelum beranjak pergi, ia kembali memelukku. Jadilah seperti apa yang kamu inginkan, Hasan…doa Nenek menyertaimu!
Sejak saat itu, aku jarang melihat Hasan. Sebulan sekali. setengah tahun sekali. Atau bahkan setahun sekali. walaupun hatiku dirundung kesedihan yang mendalam, tapi aku menyadari perjuangannya itu. ia sedang menuntut ilmu di pondok pesantren. Kelak ketika ia telah lulus, maka kebahagiaan tidak hanya ada padaku, padanya, tapi seluruh keluarga.
Hasan, belajarlah yang rajin.
* * *
Ramadhan selalu memberikan ketentraman dalam hidupku. Suasananya begitu menenangkan jiwa. Bulan suci bagi umat muslim yang penuh barakah. Sahur, buka puasa, tarawih, tadarus, membayar zakat, malam qadar, shalat idul fitri, semua itu menjadi tembang kehidupan di bulan puasa, indah berpadu dengan nyanyian sang malaikat.
Ingin rasanya seluruh hari yang ada dalam setahun menjadi ramadhan karim. Terlalu indah untuk dilepas. Layaknya satu bulan tak cukup menggantikan kerinduan bersama bulan ramadhan. Tapi satu bulan tetaplah satu bulan. Bagiku, keindahan bulan ramadhan akan tetap berpadu dalam hidupku, walaupun ia telah berlalu. Begitulah kiranya jikalau aku menggambarkan kerinduanku terhadap bulan ramadhan.
Ramadhan tahun ini telah tiba. Sayangnya, umurku sudah semakin renta. Aku merasa hanya tinggal beberapa kali ramadhan lagi, dan aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada dunia fana. Itulah firasatku. Entahlah…hanya Tuhan yang Tahu.
Hasan dipastikan tidak dapat pulang kecuali pada saat lebaran tiba. Itu pun tak lama, cuma sebentar. Setelah selesai kuliah di salah satu universitas terkenal di Yogyakarta, ia mendapatkan pekerjaan di salah satu bank yang ada di sana. Saat ini, ia telah mempunyai gaji sendiri. belum lama lagi ia juga akan mempunyai rumah dari hasil keringatnya sendiri. Alhamdulillah…kuucapkan syukur kepadaMu ya Allah atas segala karunia yang Engkau berikan padanya.
Memang keadaan Hasan tidak seperti dulu. Ia telah dewasa. Ia pun telah bekerja. Walaupun begitu, ia tetaplah Hasan yang dulu kukenal, baik, shaleh, penurut, dan tetap menyayangiku. Setiap seminggu sekali, selain menelepon orang tuanya, ia pasti akan meneleponku dan menanyakan kabarku. Betapa bahagianya aku ketika mendengar suara cucuku itu. dialah hadiah terindah yang kudapatkan.
Di sisi lain, semakin tahun, kakiku semakin sulit diajak berkompromi. Mata dan telinga ini pun tidak lagi menyampaikan pesan yang jelas. Serba buram. Tanda-tanda ketuaanku semakin jelas. Seharusnya beristirahat di rumah lebih baik untukku. Tapi tidak untuk bulan ramadhan. Selama aku masih dapat melangkahkan kaki, maka akan kulakukan. Itulah tekadku.
Begitulah….beberapa tahun belakangan pada saat bulan ramadhan, tak ada yang dapat kulakukan selain menunggu pertolongan orang lain untuk menuntunku pergi ke mushalla. Ketiga anakku tidak dapat menemaniku. Jarak rumah menjadi kendala yang begitu memberatkan mereka untuk datang dan menolongku.
“Shalat di rumah aja, Bu,” ujar Syari’ah suatu kali. Mendengar hal itu, dengan tenang aku menjawab,
“Apa Ibu salah mencari pahala yang lebih besar, sedangkan sampai saat ini masih banyak orang yang mau menolong Ibu untuk melakukannya?” Syari’ah hanya diam terpaku setelah mendengarnya. Kurasa ia malu kepada dirinya yang jarang shalat tarawih berjamaah di mushalla.
Ingatanku kembali ke masa lalu, ketika Hasan masih mondok. Saat ramadhan tiba, ia selalu pulang di pertengahan bulan. Dalam lima belas hari terakhir, ia dapat menikmati suasana bulan ramadhan bersama keluarga. Bagiku, kehadiran Hasan memberikan warna kegembiraan yang sangat mendalam.
Salah satu momen yang tidak bisa kuhapus dari ingatan adalah ketika ia dengan sangat ikhlas menemaniku pergi ke mushalla untuk shalat tarawih. Ia selalu melakukannya sejak masuk pondok pesantren. Ia menuntunku dengan sabar menuju mushalla meskipun dengan jalan yang sangat lambat. Di jalan, aku pun akan banyak berceloteh. Apapun itu, apa saja, semua kuceritakan kepadanya. dengan sabar pula ia mendengarku. Senyumannya tidak pernah lepas dari wajahnya. Rasanya hati begitu senang bersama cucu kesayanganku tersebut. hal itu juga terjadi ketika ia mengantarkanku pulang ke rumah. Ia rela bolak-balik dari rumah ibunya ke rumahku hanya untuk menemaniku.
Kini semua itu hanya tinggal kenangan. Hasan sudah bekerja. Ia juga semakin jarang menjengukku. Hal itu sudah mulai terasa sejak ia masuk universitas. Tidak…tidak karena ia telah melupakanku, tapi memang karena tuntutan kuliah dan pekerjaan. Aku yakin ia tidak akan pernah melupakanku. Aku tidak memaksakan kehendak. Aku harus memahami keadaan dia sekarang tidak seperti dulu. Hasan kecilku, Nenek rindu padamu…
Tahun ini, selain mendapatkan kabar bahwa Hasan baru akan pulang pada saat liburan tiba, aku juga dipastikan tidak akan dapat shalat tarawih di mushalla. Saat ini aku hanya dapat berbaring di kamar. sejak beberapa bulan lalu, penyakitku semakin menggerogoti badan. Aku tak kuat lagi berdiri. Sejak itulah, menantuku Halimah, istri Ahmad tinggal bersamaku dan merawatku.
Suatu hari di hari bulan ramadhan, anak-anakku berkumpul di rumah. Sudah lama mereka tidak menjengukku. Mereka duduk di samping pembaringanku sambil menatap iba kepadaku. Syari’ah memegang tanganku.
“Kami ada di sini menemani Ibu,” ujarnya dengan nada menghibur. Di luar sana, suara empat orang anak menggema. Mereka berlarian ke sana kemari. Mereka adalah cucuku dari Syarifah dan Ahmad. Rina dan Yayah adalah dua puteri Syarifah, sedangkan Yamin dan Zahra adalah putera puteri Ahmad. Syari’ah juga mempunyai dua orang anak, Dina dan Hasan. Saat ini Dina masih duduk di bangku kuliah dan akan pulang dalam beberapa hari lagi. Hasan adalah cucu tertuaku. Dialah cucu yang paling kusayangi.
“Di mana cucuku Hasan?” Tanyaku pada mereka.
“InsyaAllah sehari sebelum lebaran, ia akan datang, Bu. Saat ini ia belum dapat meninggalkan pekerjaannya”, jelas Syari’ah sebagai ibunya. Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Mereka tahu bahwa aku ingin sekali bertemu Hasan.
Tak berapa lama kemudian, di luar kamar, anak-anakku berbincang-bincang panjang lebar. Walaupun samar karena berkurangnnya kemampuan pendengaranku, aku masih dapat menyimpulkan bahwa mereka sedang membicarakan aku. Tak berapa lama kemudian, Syari’ah sepertinya menelepon seseorang. Aku tahu orang yang ditujunya, anaknya Hasan….
“Nak, sebelum liburan, kamu pulang kan?” Tanya Syari’ah.
“InsyaAllah, Bu. Begitulah rencana awal saya. mudah-mudahan tidak ada aral halangan,” jawab Hasan di telepon.
“Hasan, Nenekmu ingin sekali bertemu denganmu. Keadaannya semakin memburuk,” jelas Syari’ah kepada Hasan.
“Hasan pun ingin sekali bertemu Nenek. Hasan mau minta maaf karena tidak bisa menemani Nenek ke mushalla. Hasan mau minta maaf karena tidak bisa pulang cepat…”
Haru rasanya mendengar kata-katanya itu. tak terasa mata ini mulai tergenang air. ingin sekali tangan ini memegang tangannya, kepalanya, pundaknya, sambil berucap ‘Nenek rindu kamu, Hasan. Pulanglah segera…’
* * *
Dingin masih menusuk ragaku. Subuh di hari raya, dan aku harus mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk merasakan hari kemenangan.Sayup-sayup alunan bacaan al-Qur’an dari seseorang membuatku terjaga. Dia duduk di sampingku dengan baju kokonya yang putih bersih. Kopiah yang dipakainya pun tidak asing bagiku, karena akulah yang membelikan kopiah tersebut setahun yang lalu. Ia menghentikan bacaannya, dan menoleh kepadaku.
“Sudah bangun, Nek?” Tanyanya sambil tersenyum renyah. Diraihnya tanganku, kemudian diciumnya dengan penuh kelembutan. Sekali lagi aku tidak dapat menahan air mata ini. aku menangis sejadi-jadinya. Hasan yang kurindu-rindukan telah duduk di sampingku. Kugapai badannya untuk mendekat kepadaku. Kupeluk dia dengan erat. Kucium kepalanya dengan penuh kasih sayang. Ia membalas pelukanku. Sejenak kulihat matanya yang juga tergenang air mata. Perlahan dia mulai menyapu airmataku dengan kasih sayang.
“Nenek rindu kamu, Hasan,” ucapku cecegukan.
“Iya, Nek. Maaf Hasan sedikit terlambat datang,” ucapnya tenang. Sebenarnya Hasan direncanakan akan datang malam tadi. Seluruh anggota berkumpul di rumahku. Syari’ah telah menjelaskan bahwa Hasan akan datang terlambat karena jadwal keberangkatan pesawatnya diundur. Aku bersikeras mau menunggunya sampai datang. Jam berapa pun itu. Akhirnya mereka pasrah dan membiarkanku. Tapi aku tidaklah seperti dulu yang kuat menahan rasa kantuk sampai tengah malam. Lambat laun aku tertidur dengan sendirinya. Itu tak mengapa, karena kebahagiaanku terbit ketika aku bangun pagi. Lihatlah, Hasanku telah pulang.
“Bagi Nenek, kedatangan Hasan dengan sehat wal afiat adalah hal yang paling penting. Tak mengapa Hasan datang terlambat, itu lebih baik daripada Hasan tidak datang sama sekali,” timpalku kepada Hasan. Tanganku tak pernah lepas memegang tangannya. Ketiga anakku berdiri di samping pintu kamar. Syari’ah dan Syarifah tak kuasa melihat pemandangan yang begitu mengharukan tersebut. hanya air mata yang dapat mewakili betapa mereka terbawa dengan suasana ini. Ahmad, walaupun tidak menangis, ia tersenyum bahagia karena Ibunya mendapatkan kerinduan yang ia tunggu-tunggu. Tak terasa adzan subuh berkumandang.
“Hasan, hari ini Nenek mau shalat jamaah subuh di rumah.” Aku menjelaskan hal tersebut kepada dia. Sambil tersenyum, ia menganggukkan kepalanya. Tak berapa lama kemudian kami telah siap untuk melaksanakan shalat subuh di rumah. Anak-anakku, cucu-cucuku, semuanya ikut berjamaah. Hasan menjadi imamnya. Aku hanya dapat shalat sambil duduk.
Dari belakang kulihat Hasan yang sedang bersiap-siap untuk memimpin shalat. Kutatap punggung dia dalam-dalam. Kurenungi kenanganku bersama dia. Perlahan-lahan air mataku menetes lagi membasahi mukenaku yang sudah mulai kusam warnanya. Rasa haru tiada terkira. Melihat hal itu, Syari’ah duduk sejenak dan menatapku sambil tersenyum. Ia menyadari kebahagiaanku yang tiada terkira. Dalam hati aku berkata ‘Hasan, Nenek senang kamu pulang’. Pagi di bulan ramadhan kali ini begitu sangat indah dan syahdu.
(Muhammad Qamaruddin)
(Muhammad Qamaruddin)
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?