BAB I
PENDAHULUAN
Maqasid al-syariah adalah tujuan atau maksud
dari pada syariah. Di kalangan para Ulama ada tiga pendapat yang berbeda. Yang
pertama pendapat dari Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa tujuan dari pada
turun nya wahyu Allah SWT mengenai sebuah sistem di dalam Hukum Islam atau
Syariah adalah dalam rangka mencapai ke adilan (al-adl). Pendapat yang
kedua menyatakan bahwa tujuan daripada syariah adalah untuk
mencapai ke bahagian yang abadi (Sa’adah haqiqiyah). Pendapat yang ketiga
yaitu pendapat dari Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa tujuan dari pada
syariah itu untuk mencapai dan merealisasikan manfaat dan semua
kepentingan (maslahah)yang begitu banyak untuk semua ummat manusia di dunia ini.
Hubungan antara Maqashid Syariah dengan
mashlahah kaitannya sangat erat sekali. karena tujuan daripada maqashid syariah
itu sendiri adalah untuk mencapai mashlahah. Para ahli fiqh Islam membagi
cakupan lingkup wilayah pembahasan fiqh (kaitannya dengan ijtihad) menjadi
dua,yaitu muamalah dan ibadah. Ruang ijtihad di bidang muamalah lebih luas
daripada bidang ibadah yang sifatnya ta’abbudi. Ekonomi islam (ekonomi
syari’ah) adalah salah satu bagian dari muamalah. Ekonomi islam cukup
terbuka dalam memunculkan inovasi baru dalam membangun dan mengembangkan
ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi
acuan dan patokan yang sangat penting. Maslahah merupakan konsep terpenting
dalam pengembangan ekonomi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
EKONOMI ISLAM
Islam adalah sebuah agama yang bersifat
komprehensif, yang mengatur seluruh kehidupan insan, baik daripada sudut
Aqidah, Ibadah, Akhlak mahupun Muamalah. Antara ilmu yang tidak kurang
pentingnya dalam Islam ialah ilmu Ekonomi Islam, atau dalam Bahasa Arabnya disebut
sebagai Iqtisod Islami. Hampir ribuan Ulama’ Islam telah mengarang
pelbagai kitab yang menyentuh soal yang berkaitan dengan Muamalah umumnya, dan
Ekonomi Islam khususnya.
Para Ulama dan Sarjana Islam bahkan selalu
mengambil sikap sangat peduli terhadap kepentingan ilmu ini. Boleh dikatakan,
hampir seluruh kitab-kitab Fiqh maupun Hadits, pasti ada sekurang-kurangnya
satu bab yang berkaitan dengan soal Muamalah. Antara kitab yang membahaskan
secara khusus tentang ilmu ini adalah seperti Al-Kharaj karangan Imam
Abu Yusuf, Al-Amwal oleh Abu ‘Ubaid Al-Qasim, Al-Iktisab oleh Imam
Muhammad Asy-Syaibaani, Al-Hisbah oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan
termasuklah kitab-kitab seperti Muqaddimah oleh Imam Ibnu Khaldun, disamping
Al-Mustasfa dan Ihya’ Ulumiddin oleh Hujjatul Islam Al-Ghazzali Rahimahumullah.
B.
MASHLAHAH DAN IJTIHAD
Tujuan dan kandungan utama dalam Syariah Islam
ialah Maslahah itu sendiri. Bahkan para Ulama’ seperti Imam Al-Ghazzali,
Asy-Syathibi dan lain-lain, telah merumuskan bahawa tujuan Syariah Islam itu
sendiri adalah mewujudkan dan memelihara kemaslahatan, disamping menolak
kefasadan. Dengan itu jelas akan kepentingan soal Maslahah dalam agama Islam
itu sendiri.
Maslahah itu sendiri, secara umumnya dapat
ditakrifkan sebagai kebaikan dan kesejahteraan. Walau bagaimanapun, para ahli
Usul Fiqh mendefinisikan Maslahah itu merangkumi segala perkara yang
mengandungi manfaat, kegunaan dan kebaikan, disamping menjauhi mudharat,
kerosakan dan kefasadan. Imam Al-Ghazzali pula, dalam kitabnya Al-Mustasfa,
mengatakan:
نعني بالمصلحة :
المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو أن يحفظ عليهم دينهم
ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما
يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة
“Kami maksudkan dengan Maslahah itu ialah
menjaga akan tujuan atau maksud syara’, dan maksud syara’ daripada penciptaan
itu ada lima perkara. Yakni, hendaklah memelihara ke atas mereka (daripada
segi) agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka. Jadi, setiap perkara yang
mengandungi perlindungan terhadap lima perkara tersebut, maka ianya adalah
Maslahah, manakala segala perkara yang terkeluar daripada lima perkara
tersebut, maka ianya adalah Mafsadah, dan menolak kemaslahatan.” [Al-Ghazzali,
Al-Mustasfa, 2/482]
Berbicara tentang masalah ijtihad,
maka hal tersebut umumnya dikaitkan dalam wilayah hukum, yaitu proses untuk
menemukan hukum suatu masalah tertentu dari dalil-dalil yang ada. Namun
demikian, tentulah ijtihad bukan ”hak milik” wilayah hukum semata, karena
Ekonomi Islam pun (apalagi jika ia diidentikkan dengan fiqh mu’amalat) juga
mempunyai ”hak” untuk dikembangkan melalui proses ijtihad. Bahkan tidak ada
kata final untuk proses ijtihad, karena Ekonomi Islam harus elastis sesuai
dengan dinamika perputaran roda peradaban yang tak mengenal kata berhenti.
Terkait dengan posisi teori Maqashid
sebagai pokok pangkal dari proses berijtihad, Syathibi mengintrodusir dua
langkah dalam proses ijtihad, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad
tathbiqi. Pembagian yang dilakukan oleh Syathibi ini dapat mempermudah
untuk memahami mekanisme ijtihad. Dalam ijtihad istinbathi, seorang
ekonom muslim memfokuskan perhatiannya pada upaya penggalian ide yang dikandung
dalam teks (al-Qur’an dan Sunnah) yang masih abstrak. Setelah memperoleh
ide-ide tersebut maka kemudian menerapkan ide-ide abstrak tadi pada
permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan; inilah yang disebut dengan ijtihad
tathbiqi atau ”ijtihad penerapan.” Jadi obyek ijtihad istinbathi
adalah teks, sedangkan obyek kajian tathbiqi adalah manusia dengan
dinamika perubahan dan perkembangan yang dialaminya. Sehingga masuk akal jika
kemudian Syathibi menyebut ijtihad tathbiqi sebagai ijtihad yang tidak
akan berhenti sampai akhir zaman.
Pembicaraan epistemologi ekonomi
Islam mensyaratkan digunakannya metode deduksi dan induksi. Ijtihad tathbiqi
yang banyak menggunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih
operasional, sebab ia didasarkan pada kenyataan empiris. Selanjutnya, dari
keseluruhan proses ini–yaitu kombinasi dari elaborasi kebenaran wahyu Allah dan
as-Sunnah dengan pemikiran dan penemuan manusia yang dihasilkan dalam
ijtihad—akan menghasilkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan. Terkait dengan
hal tersebut, maka al-kulliyyah al-khamsah sebagaimana yang diintrodusir
oleh Syathibi bukanlah sesuatu yang ’eksklusif’ harga mati yang tidak bisa
dikembangkan lebih banyak lagi. Jika para ahli fiqh klasik telah merumuskan
pada masa mereka kebutuhan-kebutuhan primer mereka yang kita kenal dalam al-kuliyyah
al-khamsah, maka kebutuhan kita tidak cukup hanya lima kebutuhan primer
tersebut. Kita harus mampu menggali dan meletakkan kebutuhan-kebutuhan primer
kekinian sebagai maqashid al-syari’ah, seperti hak kebebasan
berpendapat, berpolitik, pemilu dan suksesi, hak mendapat pekerjaan, sandang,
pangan dan papan, hak mendapat pendidikan, hak pengobatan dan sebagainya.
Sebagaimana M. Fahim Khan juga menyatakan
bahwa: ”Following the lines of
Shatibi, the Islamic jurists and economists in the contemporary world are
required to work together to determine in detail the determinans of human life.
For example, freedom may be the sixth element wich may be required to be
promoted along with the promotion of the five elements described by Shatibi.” Selanjutnya
ia juga menyatakan: “It may be mentioned that the
list of basic elements given by Shatibi may be not an exhaustive list. For
example, one element that seems to be missing from the list is freedom. Islam
has given great importance to freedom at the individual level as well as at the
society level… Freedom from the dominance of non-muslim rule is extremly
important.” Ibnu ‘Asyur juga
menyatakan bahwa meskipun al-kuliyyah al-khamsah memang sangat penting,
namun secara subtansial sudah tidak memadai untuk mengawal perkembangan
dinamika ijtihad kontemporer. Untuk itu, ‘Asyur menawarkan paradigma baru bahwa
poros syariat sejatinya terletak pada nilai-nilai universal seperti fitrah,
kebebasan (huriyyah), toleran (samahah), egalitarianisme, dan hak
asasi manusia.
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kata kunci dari Maqashid Syari’ah
adalah maslahah. Tawaran yang sangat menghentak dan “kontradiktif” dengan arus main-stream
adalah apa yang digagas oleh at-Tufi mengenai teori Maslahat. At-Tufi membangun
pemikirannya tentang maslahat tersebut berdasarkan atas empat prinsip, yaitu :
·
Akal mempunyai kebebasan menentukan maslahat
dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu’amalah dan adat. Untuk menentukan
suatu maslahat atau kemafsadatan dalam wilayah mu’amalat cukup dengan akal.
·
Sebagai kelanjutan dari poin pertama tersebut,
at-Tufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar’i mandiri yang
kehujjahannya tidak tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung
pada akal semata. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam
menetapkan hukum.
·
Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah
dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan
ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, tidak termasuk objek maslahat, karena
masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah semata.
·
Maslahat merupakan dalil syara’ paling kuat.
Oleh sebab itu, at-Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma’ bertentangan
dengan maslahat, didahulukan maslahat dengan cara pengkhususan (takhsis)
dan perincian (bayan) nas tersebut.
Meskipun tergolong liberal untuk ukuran sezaman at-Tufi, maka
idealita dari apa yang disampaikan oleh at-Tufi jika dikaitkan dengan Ekonomi
Islam, adalah sudah semestinya Ekonomi Islam akan selalu hidup dan tidak
berjalan tertatih di belakang perkembangan peradaban manusia. Ekonomi Islam
akan bersifat elastis, lentur dan dinamis sehingga dapat menjawab setiap
persoalan ekonomi umat. Namun demikian elastisitas ini tidak serta-merta
diiringi dengan pola pikir yang liberal, yang dapat mencerabut Ekonomi Islam
dari akar-akarnya. Sementara itu berbagai macam ”versi” Maqashid Syari’ah
yang ditawarkan oleh kalangan cendekiawan muslim, merupakan sebuah proses
berkesinambungan untuk mencari dan menemukan kehendak Allah SWT. Meskipun
sepintas terlihat ada perbedaan dan pertentangan antar mereka, namun
upaya-upaya tersebut semestinya tidak dihadapkan secara diametris dan
kontradiktif.
Liberalitas at-Tufi tidak perlu dipertentangkan dengan
kehati-hatian Syathibi yang tetap berpegang pada dalil naqli sebagai ushul.
Demikian halnya ekstensifikasi al-kuliyyah al-khamsah sebagaimana yang
diwacanakan Ibnu ’Asyur adalah langkah untuk melengkapi apa yang sudah ada,
baik dari sisi metodologis. Selanjutnya, pastilah akan muncul tokoh-tokoh lain
dengan tawaran ide yang lebih menggigit yang mungkin saja akan menjadikan
pemikiran tokoh sebelumnya terkesan ”usang”.
Contoh-contoh
penerapan maslahah pada kasus ekonomi dan bisnis kontemporer, antara lain:
·
Pendirian Bank Islam
·
Pendirian Asuransi/Reasuransi Syariah dan LKS
lainnya
·
Penerapan revenue sharing dalam bagi hasil
·
Penerapan Dinar dan Dirham
·
Kartu Kredit tanpa bunga
·
Intervensi Harga oleh Pemerintah pada saat
distorsi pasar
·
Larangan Ihtikar dan monopoli
·
Larangan kartel dalam perdagangan
·
Larangan spekulasi, judi dan gharar
·
Larangan tas’ir (penetapan harga oleh
pemerintah )
·
Larangan siyasah ighraq (dumping)
·
Larangan future trading, options dan swaps
·
Pendirian lembaga Pengadilan Niaga syariah
·
Adanya DPS di LKS dan DSN di MUI
·
Dan lain-lain
C.
MASHLAHAH DALAM EKONOMI ISLAM
Perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan
keuangan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik di panggung
internasional maupun di Indonesia. Lembaga-lembaga itu antara lain
asuransi, sukuk, pegadaian, mortgage, leasing dan multifinance, capital market,
mutual fund, factoring, MLM (Multi Level Marketing), dsb.
Loncatan kemajuan sains dan teknologi modern
telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, khususnya terhadap
kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce,
system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, perdagangan
international / ekspor impor dengan media L/C, sampai kepada, instrumen
pengendalian moneter, exchange rate, waqf saham, jaminan fiducia (rahn
tasjiliy) dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb,
Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam dan
perumusan fatwa-fatwa serta produk keuangan adalah maslahah.
Penempatan maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep
yang paling penting dalam syariah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah
ditempatkan pada posisi kedua, yaitu sesudah prinsip tawhid (Agustiano,
2010). Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah
Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah)
adalah mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi,
Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu.
Dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan
sebagai prinsip kedua dalam ekonomi Islam.
Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam
(muamalah) memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran
Islam tentang muamalah umumnya bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk
bergerak lebih luas. Ekonomi Islam yang menjadi salah satu bidang muamalah
berbeda dengan ibadah murni (ibadah mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi),
sehingga sedikit sekali ruang untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang
ibadah sangat sempit. Lain halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka
bagi inovasi dan kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam.
Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan
patokan penting. Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang oleh
Shadr dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al tasyri`y (area yang
kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang menyinggung masalah yang
terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis, membuka peluang yang besar
untuk mengembangkan ijtihad dengan prinsip maslahah.
Kemaslahatan dalam bidang muamalah dapat
ditemukan oleh akal / pemikiran manusia melalui ijtihad.Misalnya, akal manusia
dapat mengetahui bahwa curang dan menipu dalam kegiatan bisnis adalah perilaku
tercela. Demikian pula praktik riba. Para filosof Yunani yang hidup di zaman
klasik, bisa menemukan dengan pemikirannya bahwa riba adalah perbuatan tak
bermoral yang harus dihindari.
Al mashlahah sebagai salah satu model
pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam
dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan
yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari
kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika
sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum)
merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i,
bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana
dalam ekonomi konvensional.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi Islam
dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi yang pesat
haruslah didasarkan kepada maslahah. Jadi , untuk mengembangkan ekonomi
Islam, para ekonom muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena
maslahah adalah saripati dari syari’ah. Para ulama menyatakan ”di mana ada
maslahah, maka di situ ada syari’ah Allah ”. Artinya, segala sesuatu
yang mengandung kemaslahatan, maka di itulah syari’ah Allah. Dengan
demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.
Apabila kemaslahatan dalam ekonomi mungkin dan
dapat dijangkau dan ditemukan oleh akal dan pemikiran manusia, sedangkan dalam
ibadah umumnya sulit dijangkau pemikiran manusia, seperti mengapa shalat fardhu
hanya lima kali sehari semalam, mengapa shalat subuh dua rakaat, mengapa shalat
isya 4 rakaat, mengapa hajar aswad sunnah dicium dan banyak contoh lainnya.
Seandainya tidak ada nash dan Nabi Muhammad menjelaskan, niscaya manusia tidak
bisa menjangkau dan menemukannya. Para ulama hanya bisa mereka-reka
hikmahnya, yang bentuknya bukan elaborasi prinsip maslahah, tetapi berupa
hikmah dan falsafah tasyri’ belaka.
Sedangkan dalam bidang muamalah, manusia
dapat menemukan maslahah suatu syariah. Misalnya, mengapa Ibnu Taimiyah
membenarkan intervensi harga oleh pemerintah, padahal Nabi Saw tidak
melakukanya. Mengapa Umar mengimpor gandum dari Mesir ketika terjadi kelangkaan
gandum di Mesir, mengapa dalam transaksi ekonomi harus ada saksi yang adil,
mengapa riba, gharar, spekulasi, penipuan, kecurangan, maysir dilarang
dan mengapa bagi hasil ditawarkan dan banyak contoh lainnya.
Muamalat adalah aturan syari’ah tentang
hubungan sosial di antara manusia. Dalam muamalat, dijelaskan secara luas illat,
rahasia dan tujuan kemaslahatan suatu hukum muamalat. Ini mengandung
indikasi agar manusia memperhatikan kemaslahatan dalam bidang muamalat dan
tidak hanya berpegang pada tuntutan teks nash semata, karena mungkin suatu teks
ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tertentu, kondisi, adat, waktu dan tempat
tertentu. Sehingga ketika maslahah berubah maka berubah pula ketentuan
muamalah (perekonomian)
Dengan pertimbangan maslahah,
regulasi perekonomian bisa berubah dari teks nash kepada konteks nash yang
mengandung maslahah. Misalnya, Nabi Muhammad Saw tidak mau mencampuri persoalan
harga di Madinah, ketika para sahabat mendesaknya untuk menurunkan harga.
Tetapi ketika kondisi berubah di mana distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu
Taimiyah mengajarkan bahwa pemerintah boleh campur tangan dalam masalah harga.
Secara tekstual, Ibnu Taymiyah kelihatannya melanggar nash hadits Nabi Saw.
Tetapi karena pertimbangan kemaslahatan, di mana situasi berbeda dengan masa
Nabi, maka Ibnu Taymiyah memahami hadits tersebut secara kontekstual
berdasarkan pertimbangan maslahah.
Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan
keuangan syari’ah juga didasarkan kepada maslahah. Inovasi zakat produktif dan
waqaf tunai juga didasarkan kepada maslahah. Pendeknya semua aktivitas dan
perilaku dalam perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada
kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya
jika di sana ada kemudratan dan mafsadah, maka prakteknya tidak
dibenarkan, seperti ihtikar , spekulasi valas dan saham, gharar,
judi, dumping, dan segala bisnis yang mengandung riba.
Demikian pula dalam membicarakan perilaku konsumen dalam kaitannya dengan
utility. Dalam ekonomi konvensional, tujuan konsumen adalah untuk memaksimalkan
utility, sedangkan dalam ekonomi Islam untuk memaksikumkan maslahah. Utility
adalah sebuah konsep yang kepuasaan (manfaatnya) bersifat material dan
keduniaan belaka, sedangkan maslahah adalah utility yang mengandung
unsur-unsur akhirat, bersifat spiritual dan transendental.
D.
IMPLIKASI MAQASHID TERHADAP
EKONOMI
Aturan-aturan dalam syari’ah sangat
terkait dengan berbagai dimensi aspek perilaku manusia. Aspek ekonomi hanyalah
salah satu dari serangkaian perilaku manusia. Pembahasan sebelumnya mengenai
teori Maqashid semestinya mempunyai implikasi terhadap perilaku ekonomi
setiap individu muslim. Selain itu para ekonom muslim juga tidak boleh
melupakan implikasi-implikasi tersebut saat melakukan analisis ekonomi dalam framework
Islam.Menyusun dan menguraikan implikasi Maqashid dalam teori-teori
ekonomi merupakan sebuah tantangan dan tugas yang sangat berat, yang harus
selalu diupayakan oleh para ekonom muslim. Uraian di bawah ini berupaya untuk
menderivasikan teori Maqashid ke dalam teori ekonomi. Namun demikian
uraian yang akan kami sampaikan ini baru sebatas dalam dataran ”inisiatif untuk
berproses” yang tidak bersifat exhaustic (habis pakai) dan final.
1.
Problem Ekonomi
Problem ekonomi biasanya dikaitkan
dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana memproduksi,
dan untuk siapa sesuatu itu diproduksi. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena
adanya keyakinan bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber
daya yang tersedia itu terbatas. Namun demikian teori-teori dalam ekonomi
konvensional tidak mampu untuk memberi jawaban yang tepat untuk pertanyaan di
atas. Akibatnya, teori-teori tersebut tidak dapat secara spesifik menjelaskan
problem ekonomi manusia.
Selama ini teori ekonomi
konvensional mendefinisikan bahwa problem ekonomi sebagai how to maximise
the satisfaction of wants from the available resources wich are relatives to
wants. Definisi ini mengandung inkonsistensi, karena meskipun variabel
kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) itu dihilangkan, apakah
problem ekonomi yang dihadapi oleh manusia juga akan hilang dengan sendirinya.
Jawabannya tentu ‘tidak’, karena ketidakmampuan materi (sumber daya) untuk
memuaskan keinginan manusia. Galbraith, sebagaimana yang dikutip M. Fahim Khan,
mempertanyakan: Bagaimana mungkin proses produksi dapat memuaskan keinginan
jika proses produksi itu sendiri justru menciptakan keinginan. Anda
tentunya juga masih ingat hukum Say yang mengatakan the supply creates its
own demand. Tidak mengherankan kemudian jika T. Scitovsky menyatakan bahwa
negara-negara kapitalis yang kaya menjadi masyarakat konsumeris yang banyak
melakukan pemborosan.
Dalam perspektif Syari’ah, alasan mengapa
seseorang berproduksi dan mengapa harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga kemaslahatan. Aktivitas ekonomi,
baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan pada maslahah, merupakan
representasi proses meraih sesuatu yang lebih baik di dunia dan akhirat. Segala
tindakan ekonomi yang mengandung maslahah bagi manusia tadi disebut dengan
kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan (meeting/fulfilling
needs)—dan bukan memuaskan keinginanan (satisfying wants)—merupakan
tujuan dalam aktivitas ekonomi yang sekaligus merupakan kewajiban agama. Oleh
karena fulfilling needs merupakan kewajiban agama, maka Ekonomi Islam
juga menjadi sebuah “kekuatan pemaksa” bagi masyarakat yang tidak mempunyai
keinginan untuk melakukan pembangunan ekonomi.
Berdasarkan uraian tersebut maka
yang menjadi problem ekonomi adalah, bagaimana individu memenuhi kebutuhannya (fulfilling
needs), karena terkadang pada kondisi, waktu dan lokasi tertentu sumber
daya yang tersedia menjadi terbatas. Relatifitas scarcity ini pun
disinggung dalam al-Qur’an (al-Baqarah, 255):
2.
Wants versus Needs
Wants
dalam teori ekonomi konvensional muncul dari keinginan naluriah manusia, yang
muncul dari konsep bebas nilai (value-free concept). Ilmu ekonomi
konvensional tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena keduanya
memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yaitu kelangkaan. Mereka
berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan, demikian pula sebaliknya. Padahal
konsekuensi dari hal ini adalah terkurasnya sumber-sumber daya alam secara
membabi-buta dan merusak keseimbangan ekologi.
Pada sisi yang lain, Ekonomi Islam
justru tidak memerintahkan manusia untuk meraih segala keinginan dan hasratnya.
Memaksimalkan kepuasan (maximization of satisfaction) bukanlah spirit
dalam perilaku konsumsi Ekonomi Islam, karena hal tersebut adalah norma-norma
yang disokong oleh peradaban yang materialistik. Sebagai gantinya Ekonomi Islam
memerintahkan individu untuk memenuhi kebutuhannya/needs sebagaimana
yang dikehendaki oleh syari’ah. Needs memang muncul dari keinginan
naluriah, namun dalam framework Islam tidak semua keinginan naluriah itu
bisa menjadi kebutuhan. Hanya keinginan yang mengandung maslahah saja
yang dapat dikategorikan sebagai needs.
3.
Maslahah
versus Utility
Teori ekonomi konvensional
menjelaskan utilitas sebagai upaya untuk menguasai/memiliki barang dan jasa
guna memuaskan keinginan manusia. Satisfaction atau kepuasan hanya dapat
ditetapkan secara subyektif, sehingga setiap orang dapat menentukan tingkat
kepuasannya tergantung pada kriteria yang ia tetapkan sendiri. Semua aktifitas
ekonomi, baik itu proses produksi maupun konsumsi, didasari pada semangat utilitas.
Namun dalam Ekonomi Islam hanya barang/jasa yang dapat mengembangkan dan
menopang maslahah sajalah yang dapat dikategorisasikan sebagai
barang/jasa yang mengandung maslahah. Oleh karenanya, dari sudut pandang agama,
seorang individu muslim didorong untuk memperoleh atau memproduksi barang/jasa
yang mengadung kemaslahatan. Barang/jasa dapat diukur tingkat kemaslahatannya
relatif pada kemampuan barang/jasa tersebut untuk mengembangkan maslahah.
Bagi para ekonom muslim, konsep
maslahah lebih obyektif dari pada konsep utilitas untuk menganalisis perilaku
para pelaku ekonomi. Meskipun maslahah mungkin akan menyisakan sedikit
subyektifitas, namun subyektifitas tersebut tidak membuatnya samar seperti yang
terjadi dalam konsep utilitas. Ada tiga alasan mengapa maslahah lebih superior
dari pada utilitas, yaitu:
a)
Maslahah memang bersifat subyektif,
karena setiap individu dapat menentukan sesuatu yang baik/maslahah bagi diri
mereka sendiri. Akan tetapi kriteria untuk menentukan maslahah ini lebih jelas
dan terarah, dari pada subyektifitas yang ada pada konsep utilitas. Dalam
konsep utilitas, alkohol (minuman keras) bisa jadi mengandung utilitas tapi
bisa juga tidak, relatif pada individu masing-masing. Namun dalam Ekonomi
Islam, karena alkohol tidak mengandung kemaslahatan dan jelas kontradiktif
dengan al-kuliyyah al-khamsah maka jelas alkohol tidak akan dikonsumsi.
b)
Konflik kepentingan antara
kepentingan individu dan kepentingan sosial dapat dihindari, atau setidaknya
diminimalisir. Hal ini karena kriteria maslahah antara individu dan sosial
dapat disinkronkan, sesuai yang tertuang dalam aturan-aturan syar’i. Dalam
pandangan Asad Zaman, perilaku konsumsi muslim terkait dengan tiga hal yaitu,
altruisme, penolakan terhadap konsep satiation; dan feeding the poor.
c)
Konsep maslahah berlaku pada semua
aktifitas ekonomi di masyarakat, baik itu dalam proses produksi dan konsumsi.
Berbeda halnya dengan ekonomi konvensional; dimana utilitas adalah tujuan dari
konsumsi; sedangkan profit atau keuntungan adalah tujuan dari proses
produksi
4.
Maslahah dalam Proses Produksi
Islam tidak menolak pertimbangan
bahwa untuk memproduksi barang/jasa harus mempertimbangkan for whom to
produce sehingga akan menentukan what to produce. Dengan mengacu
pada konsep maslahah sebagi tujuan dari Maqashid Syari’ah, maka proses
produksi akan terkait dengan beberapa faktor berikut:
a)
Karena produsen dalam Islam tidak
hanya mengejar profitability namun juga menjadikan maslahah sebagai
barometernya, maka ia tidak akan memproduksi barang/jasa yang tidak searah
dengan Maqashid Syari’ah, menyalahi al-kulliyyah al-khamsah dan
tidak meningkatkan kemaslahatan baik dalam level individu dan sosial. Produsen
dalam ekonomi konvensional bisa jadi akan membuka kasino maupun ”pasar kembang a
la Jogja” demi mengejar keuntungan. Namun tidak demikian halnya dengan
produsen dalam Ekonomi Islam, karena kasino bertentangan dengan hifdzil-maal
sedangkan praktek prostitusi tidak sejalan dengan hifdzil-nasl.
b)
Dalam banyak hal, jenis dan jumlah supply
relatif pada demand. Jika diasumsikan bahwa semua demand di
suatu pasar berdasar pada maslahah yang berakar pada needs, maka supply
dari produsen akan mengikuti demand tersebut. Pun andaikata masih ada demand
yang tidak sesuai kemaslahatan, maka produsen dalam Ekonomi Islam semestinya
tidak mensuplai permintaan tersebut hanya karena profit semata. Tentulah
apa yang telah diuraikan pada sub-bab ini hanya sebagian kecil dari sekian
implikasi Maqashid Syari’ah dalam perilaku ekonomi individu muslim.
Selain itu, merupakan sebuah ‘keharusan’ bahwa yang uraian tentang implikasi di
atas merupakan bentuk dari ‘ijtihad individual’ yang perlu dikomunikasikan
dengan para mujtahid lainnya.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Benang merah yang dapat kita sarikan dari
uraian di atas adalah bahwa Maqashid Syari’ah sebagai tujuan dibalik
adanya serangkain aturan-aturan telah digariskan oleh Allah SWT. Tujuan
tersebut adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan bagi
manusia. Semua aspek dalam kehidupan individu muslim harus mengarah pada
tercapainya kemaslahatan seperti yang dikehendaki dalam Maqashid Syari’ah.Berdasar
simpulan pertama tersebut, maka Ekonomi Islam juga menempatkan Maqashid
Syari’ah sebagai acuan, sehingga sistem dan ilmu yang kini tengah
diformulasikan dapat memberi kemaslahatan dan mampu menjadi pan-acea
terhadap kompleknya problem ekonomi kekinian yang kian akut. Para “mujtahid” di
bidang Ekonomi Islam sudah semestinya menerapkan Maqashid Syari’ah dalam
proses analisis mereka tentang ekonomi.Maqashid Syari’ah dalam dataran
idealnya juga harus berimplikasi pada perilaku ekonomi individu muslim, baik
dalam posisinya sebagai konsumen maupun produsen. Kesemua aktivitas ekonomi
tersebut harus menuju kepada kemaslahatan sehingga dapat memelihara Maqashid
Syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
·
Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah
menurut al-Syatibi, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
·
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid
Syariah, Jakarta: Amzah, 2010.
·
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif
Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
·
AM. M. HAFIDZ, MS., M.Ag, Maqashid
Syariah dalam Ekonomi Islam.
terima kasih, postingannya sangat membantu :)
BalasHapus