Minggu, 29 April 2012

“MAQASHID SYARIAH: MASLAHAH SEBAGAI METODE PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAM”


BAB I
PENDAHULUAN


Maqasid al-syariah adalah tujuan atau maksud dari pada syariah. Di kalangan para Ulama ada tiga pendapat yang berbeda. Yang pertama pendapat dari Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa tujuan dari pada turun nya wahyu Allah SWT mengenai sebuah sistem di dalam Hukum Islam atau Syariah adalah dalam rangka mencapai ke adilan (al-adl). Pendapat yang kedua  menyatakan bahwa  tujuan daripada syariah adalah untuk mencapai ke bahagian yang abadi  (Sa’adah haqiqiyah). Pendapat yang ketiga yaitu pendapat dari Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa tujuan dari pada syariah itu untuk mencapai dan merealisasikan manfaat  dan semua kepentingan (maslahah)yang begitu banyak untuk semua ummat manusia di dunia ini.

Hubungan antara Maqashid Syariah dengan mashlahah kaitannya sangat erat sekali. karena tujuan daripada maqashid syariah itu sendiri adalah untuk mencapai mashlahah. Para ahli fiqh Islam membagi cakupan lingkup wilayah pembahasan fiqh (kaitannya dengan ijtihad) menjadi dua,yaitu muamalah dan ibadah. Ruang ijtihad di bidang muamalah lebih luas daripada bidang ibadah yang sifatnya ta’abbudi. Ekonomi islam (ekonomi syari’ah) adalah salah satu bagian dari muamalah. Ekonomi islam cukup terbuka dalam memunculkan inovasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan yang sangat penting. Maslahah merupakan konsep terpenting dalam pengembangan ekonomi Islam.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    EKONOMI ISLAM
Islam adalah sebuah agama yang bersifat komprehensif, yang mengatur seluruh kehidupan insan, baik daripada sudut Aqidah, Ibadah, Akhlak mahupun Muamalah. Antara ilmu yang tidak kurang pentingnya dalam Islam ialah ilmu Ekonomi Islam, atau dalam Bahasa Arabnya disebut sebagai Iqtisod Islami. Hampir ribuan Ulama’ Islam telah mengarang pelbagai kitab yang menyentuh soal yang berkaitan dengan Muamalah umumnya, dan Ekonomi Islam khususnya.
Para Ulama dan Sarjana Islam bahkan selalu mengambil sikap sangat peduli terhadap kepentingan ilmu ini. Boleh dikatakan, hampir seluruh kitab-kitab Fiqh maupun Hadits, pasti ada sekurang-kurangnya satu bab yang berkaitan dengan soal Muamalah. Antara kitab yang membahaskan secara khusus tentang ilmu ini adalah seperti Al-Kharaj karangan Imam Abu Yusuf, Al-Amwal oleh Abu ‘Ubaid Al-Qasim, Al-Iktisab oleh Imam Muhammad Asy-Syaibaani, Al-Hisbah oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan termasuklah kitab-kitab seperti Muqaddimah oleh Imam Ibnu Khaldun, disamping Al-Mustasfa dan Ihya’ Ulumiddin oleh Hujjatul Islam Al-Ghazzali Rahimahumullah.


B.     MASHLAHAH DAN IJTIHAD
Tujuan dan kandungan utama dalam Syariah Islam ialah Maslahah itu sendiri. Bahkan para Ulama’ seperti Imam Al-Ghazzali, Asy-Syathibi dan lain-lain, telah merumuskan bahawa tujuan Syariah Islam itu sendiri adalah mewujudkan dan memelihara kemaslahatan, disamping menolak kefasadan. Dengan itu jelas akan kepentingan soal Maslahah dalam agama Islam itu sendiri.
Maslahah itu sendiri, secara umumnya dapat ditakrifkan sebagai kebaikan dan kesejahteraan. Walau bagaimanapun, para ahli Usul Fiqh mendefinisikan Maslahah itu merangkumi segala perkara yang mengandungi manfaat, kegunaan dan kebaikan, disamping menjauhi mudharat, kerosakan dan kefasadan. Imam Al-Ghazzali pula, dalam kitabnya Al-Mustasfa, mengatakan:
نعني بالمصلحة : المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة 

“Kami maksudkan dengan Maslahah itu ialah menjaga akan tujuan atau maksud syara’, dan maksud syara’ daripada penciptaan itu ada lima perkara. Yakni, hendaklah memelihara ke atas mereka (daripada segi) agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka. Jadi, setiap perkara yang mengandungi perlindungan terhadap lima perkara tersebut, maka ianya adalah Maslahah, manakala segala perkara yang terkeluar daripada lima perkara  tersebut, maka ianya adalah Mafsadah, dan menolak kemaslahatan.” [Al-Ghazzali, Al-Mustasfa, 2/482]

Berbicara tentang masalah ijtihad, maka hal tersebut umumnya dikaitkan dalam wilayah hukum, yaitu proses untuk menemukan hukum suatu masalah tertentu dari dalil-dalil yang ada. Namun demikian, tentulah ijtihad bukan ”hak milik” wilayah hukum semata, karena Ekonomi Islam pun (apalagi jika ia diidentikkan dengan fiqh mu’amalat) juga mempunyai ”hak” untuk dikembangkan melalui proses ijtihad. Bahkan tidak ada kata final untuk proses ijtihad, karena Ekonomi Islam harus elastis sesuai dengan dinamika perputaran roda peradaban yang tak mengenal kata berhenti.
Terkait dengan posisi teori Maqashid sebagai pokok pangkal dari proses berijtihad, Syathibi mengintrodusir dua langkah dalam proses ijtihad, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi. Pembagian yang dilakukan oleh Syathibi ini dapat mempermudah untuk memahami mekanisme ijtihad. Dalam ijtihad istinbathi, seorang ekonom muslim memfokuskan perhatiannya pada upaya penggalian ide yang dikandung dalam teks (al-Qur’an dan Sunnah) yang masih abstrak. Setelah memperoleh ide-ide tersebut maka kemudian menerapkan ide-ide abstrak tadi pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan; inilah yang disebut dengan ijtihad tathbiqi atau ”ijtihad penerapan.” Jadi obyek ijtihad istinbathi adalah teks, sedangkan obyek kajian tathbiqi adalah manusia dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang dialaminya. Sehingga masuk akal jika kemudian Syathibi menyebut ijtihad tathbiqi sebagai ijtihad yang tidak akan berhenti sampai akhir zaman.
Pembicaraan epistemologi ekonomi Islam mensyaratkan digunakannya metode deduksi dan induksi. Ijtihad tathbiqi yang banyak menggunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih operasional, sebab ia didasarkan pada kenyataan empiris. Selanjutnya, dari keseluruhan proses ini–yaitu kombinasi dari elaborasi kebenaran wahyu Allah dan as-Sunnah dengan pemikiran dan penemuan manusia yang dihasilkan dalam ijtihad—akan menghasilkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan. Terkait dengan hal tersebut, maka al-kulliyyah al-khamsah sebagaimana yang diintrodusir oleh Syathibi bukanlah sesuatu yang ’eksklusif’ harga mati yang tidak bisa dikembangkan lebih banyak lagi.  Jika para ahli fiqh klasik telah merumuskan pada masa mereka kebutuhan-kebutuhan primer mereka yang kita kenal dalam al-kuliyyah al-khamsah, maka kebutuhan kita tidak cukup hanya lima kebutuhan primer tersebut. Kita harus mampu menggali dan meletakkan kebutuhan-kebutuhan primer kekinian sebagai maqashid al-syari’ah, seperti hak kebebasan berpendapat, berpolitik, pemilu dan suksesi, hak mendapat pekerjaan, sandang, pangan dan papan, hak mendapat pendidikan, hak pengobatan dan sebagainya.
 Sebagaimana M. Fahim Khan juga menyatakan bahwa:  ”Following the lines of Shatibi, the Islamic jurists and economists in the contemporary world are required to work together to determine in detail the determinans of human life. For example, freedom may be the sixth element wich may be required to be promoted along with the promotion of the five elements described by Shatibi.” Selanjutnya ia juga menyatakan: “It may be mentioned that the list of basic elements given by Shatibi may be not an exhaustive list. For example, one element that seems to be missing from the list is freedom. Islam has given great importance to freedom at the individual level as well as at the society level… Freedom from the dominance of non-muslim rule is extremly important.”  Ibnu ‘Asyur juga menyatakan bahwa meskipun al-kuliyyah al-khamsah memang sangat penting, namun secara subtansial sudah tidak memadai untuk mengawal perkembangan dinamika ijtihad kontemporer. Untuk itu, ‘Asyur menawarkan paradigma baru bahwa poros syariat sejatinya terletak pada nilai-nilai universal seperti fitrah, kebebasan (huriyyah), toleran (samahah), egalitarianisme, dan hak asasi manusia.
 Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kata kunci dari Maqashid Syari’ah adalah maslahah. Tawaran yang sangat menghentak dan “kontradiktif” dengan arus main-stream adalah apa yang digagas oleh at-Tufi mengenai teori Maslahat. At-Tufi membangun pemikirannya tentang maslahat tersebut berdasarkan atas empat prinsip, yaitu :
·         Akal mempunyai kebebasan menentukan maslahat dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu’amalah dan adat. Untuk menentukan suatu maslahat atau kemafsadatan dalam wilayah mu’amalat cukup dengan akal.
·         Sebagai kelanjutan dari poin pertama tersebut, at-Tufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar’i mandiri yang kehujjahannya tidak tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum.
·         Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, tidak termasuk objek maslahat, karena masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah semata.
·         Maslahat merupakan dalil syara’ paling kuat. Oleh sebab itu, at-Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma’ bertentangan dengan maslahat, didahulukan maslahat dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nas tersebut.

Meskipun tergolong liberal untuk ukuran sezaman at-Tufi, maka idealita dari apa yang disampaikan oleh at-Tufi jika dikaitkan dengan Ekonomi Islam, adalah sudah semestinya Ekonomi Islam akan selalu hidup dan tidak berjalan tertatih di belakang perkembangan peradaban manusia. Ekonomi Islam akan bersifat elastis, lentur dan dinamis sehingga dapat menjawab setiap persoalan ekonomi umat. Namun demikian elastisitas ini tidak serta-merta diiringi dengan pola pikir yang liberal, yang dapat mencerabut Ekonomi Islam dari akar-akarnya. Sementara itu berbagai macam ”versi” Maqashid Syari’ah yang ditawarkan oleh kalangan cendekiawan muslim, merupakan sebuah proses berkesinambungan untuk mencari dan menemukan kehendak Allah SWT. Meskipun sepintas terlihat ada perbedaan dan pertentangan antar mereka, namun upaya-upaya tersebut semestinya tidak dihadapkan secara diametris dan kontradiktif.
Liberalitas at-Tufi tidak perlu dipertentangkan dengan kehati-hatian Syathibi yang tetap berpegang pada dalil naqli sebagai ushul. Demikian halnya ekstensifikasi al-kuliyyah al-khamsah sebagaimana yang diwacanakan Ibnu ’Asyur adalah langkah untuk melengkapi apa yang sudah ada, baik dari sisi metodologis. Selanjutnya, pastilah akan muncul tokoh-tokoh lain dengan tawaran ide yang lebih menggigit yang mungkin saja akan menjadikan pemikiran tokoh sebelumnya terkesan ”usang”.
Contoh-contoh penerapan maslahah pada kasus ekonomi dan bisnis kontemporer, antara lain:
·         Pendirian Bank Islam
·         Pendirian Asuransi/Reasuransi Syariah dan LKS lainnya
·         Penerapan revenue sharing dalam bagi hasil
·         Penerapan Dinar dan Dirham
·         Kartu Kredit tanpa bunga
·         Intervensi Harga oleh Pemerintah pada saat distorsi pasar
·         Larangan Ihtikar dan monopoli
·         Larangan kartel dalam perdagangan
·         Larangan spekulasi, judi dan gharar
·         Larangan tas’ir (penetapan harga oleh pemerintah )
·         Larangan siyasah ighraq (dumping)
·         Larangan future trading, options dan swaps
·         Pendirian lembaga Pengadilan Niaga syariah
·         Adanya DPS di LKS dan DSN di MUI
·         Dan lain-lain


C.    MASHLAHAH DALAM EKONOMI ISLAM
Perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik di panggung internasional maupun di Indonesia. Lembaga-lembaga itu antara lain  asuransi, sukuk, pegadaian, mortgage, leasing dan multifinance, capital market, mutual fund, factoring, MLM (Multi Level Marketing), dsb.
Loncatan kemajuan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, khususnya terhadap kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, perdagangan international / ekspor impor dengan media L/C, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter, exchange rate, waqf saham, jaminan fiducia (rahn tasjiliy)  dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb,
Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam dan perumusan fatwa-fatwa serta produk keuangan  adalah maslahah. Penempatan maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah ditempatkan pada posisi kedua, yaitu sesudah prinsip  tawhid (Agustiano, 2010). Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam ekonomi Islam.
Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah umumnya bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi Islam yang menjadi salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni (ibadah mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit sekali ruang untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting. Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang oleh Shadr dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al tasyri`y (area yang kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang menyinggung masalah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis, membuka peluang yang besar untuk mengembangkan ijtihad dengan prinsip  maslahah.
Kemaslahatan dalam bidang muamalah dapat ditemukan oleh akal / pemikiran manusia melalui ijtihad.Misalnya, akal manusia dapat mengetahui bahwa curang dan menipu dalam kegiatan bisnis adalah perilaku tercela. Demikian pula praktik riba. Para filosof Yunani yang hidup di zaman klasik, bisa menemukan dengan pemikirannya bahwa riba adalah perbuatan tak bermoral yang harus dihindari.
Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi konvensional.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi  yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Jadi , untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonom muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahah adalah saripati dari syari’ah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka  di situ ada syari’ah Allah ”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di itulah  syari’ah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.
Apabila kemaslahatan dalam ekonomi mungkin dan dapat dijangkau dan ditemukan oleh akal dan pemikiran manusia, sedangkan dalam ibadah umumnya sulit dijangkau pemikiran manusia, seperti mengapa shalat fardhu hanya lima kali sehari semalam, mengapa shalat subuh dua rakaat, mengapa shalat isya 4 rakaat, mengapa hajar aswad sunnah dicium dan banyak contoh lainnya. Seandainya tidak ada nash dan Nabi Muhammad menjelaskan, niscaya manusia tidak bisa menjangkau dan menemukannya. Para  ulama hanya bisa mereka-reka hikmahnya, yang bentuknya bukan elaborasi prinsip  maslahah, tetapi berupa hikmah  dan falsafah tasyri’ belaka.
Sedangkan dalam bidang muamalah,  manusia dapat menemukan maslahah suatu syariah. Misalnya, mengapa Ibnu Taimiyah membenarkan intervensi harga oleh pemerintah, padahal Nabi Saw tidak melakukanya. Mengapa Umar mengimpor gandum dari Mesir ketika terjadi kelangkaan gandum di Mesir, mengapa dalam transaksi ekonomi harus ada saksi yang adil, mengapa riba, gharar, spekulasi, penipuan, kecurangan, maysir  dilarang dan mengapa bagi hasil ditawarkan dan banyak contoh lainnya.
Muamalat adalah aturan syari’ah tentang hubungan sosial di antara manusia. Dalam muamalat, dijelaskan secara luas illat, rahasia dan tujuan kemaslahatan suatu hukum muamalat. Ini mengandung indikasi agar manusia memperhatikan kemaslahatan dalam bidang muamalat dan tidak hanya berpegang pada tuntutan teks nash semata, karena mungkin suatu teks ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tertentu, kondisi, adat, waktu dan tempat tertentu. Sehingga ketika maslahah berubah maka berubah pula ketentuan muamalah (perekonomian)
Dengan pertimbangan maslahah,   regulasi perekonomian bisa berubah dari teks nash kepada konteks nash yang mengandung maslahah. Misalnya, Nabi Muhammad Saw tidak mau mencampuri persoalan harga di Madinah, ketika para sahabat mendesaknya untuk menurunkan harga. Tetapi ketika kondisi berubah di mana distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu Taimiyah mengajarkan bahwa pemerintah boleh campur tangan dalam masalah harga. Secara tekstual, Ibnu Taymiyah kelihatannya melanggar nash hadits Nabi Saw. Tetapi karena pertimbangan kemaslahatan, di mana situasi berbeda dengan masa Nabi, maka Ibnu Taymiyah memahami hadits tersebut secara kontekstual berdasarkan pertimbangan maslahah.
Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah juga didasarkan kepada maslahah. Inovasi zakat produktif dan waqaf tunai juga didasarkan kepada maslahah. Pendeknya semua aktivitas dan perilaku dalam perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya jika di sana ada kemudratan dan mafsadah, maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar , spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala bisnis yang mengandung riba.   Demikian pula dalam membicarakan perilaku konsumen dalam kaitannya dengan utility. Dalam ekonomi konvensional, tujuan konsumen adalah untuk memaksimalkan utility, sedangkan dalam ekonomi Islam untuk memaksikumkan maslahah. Utility adalah sebuah konsep yang kepuasaan (manfaatnya) bersifat material dan keduniaan belaka, sedangkan maslahah adalah utility yang mengandung unsur-unsur  akhirat, bersifat spiritual dan transendental.

D.    IMPLIKASI MAQASHID TERHADAP EKONOMI
Aturan-aturan dalam syari’ah sangat terkait dengan berbagai dimensi aspek perilaku manusia. Aspek ekonomi hanyalah salah satu dari serangkaian perilaku manusia. Pembahasan sebelumnya mengenai teori Maqashid semestinya mempunyai implikasi terhadap perilaku ekonomi setiap individu muslim. Selain  itu para ekonom muslim juga tidak boleh melupakan implikasi-implikasi tersebut saat melakukan analisis ekonomi dalam framework Islam.Menyusun dan menguraikan implikasi Maqashid dalam teori-teori ekonomi merupakan sebuah tantangan dan tugas yang sangat berat, yang harus selalu diupayakan oleh para ekonom muslim. Uraian di bawah ini berupaya untuk menderivasikan teori Maqashid ke dalam teori ekonomi. Namun demikian uraian yang akan kami sampaikan ini baru sebatas dalam dataran ”inisiatif untuk berproses” yang tidak bersifat exhaustic (habis pakai) dan final.

 1.            Problem Ekonomi
Problem ekonomi biasanya dikaitkan dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana memproduksi, dan untuk siapa sesuatu itu diproduksi. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adanya keyakinan bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia itu terbatas. Namun demikian teori-teori dalam ekonomi konvensional tidak mampu untuk memberi jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas. Akibatnya, teori-teori tersebut tidak dapat secara spesifik menjelaskan problem ekonomi manusia.
Selama ini teori ekonomi konvensional mendefinisikan bahwa problem ekonomi sebagai how to maximise the satisfaction of wants from the available resources wich are relatives to wants. Definisi ini mengandung inkonsistensi, karena meskipun variabel kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) itu dihilangkan, apakah problem ekonomi yang dihadapi oleh manusia juga akan hilang dengan sendirinya. Jawabannya tentu ‘tidak’, karena ketidakmampuan materi (sumber daya) untuk memuaskan keinginan manusia. Galbraith, sebagaimana yang dikutip M. Fahim Khan, mempertanyakan: Bagaimana mungkin proses produksi dapat memuaskan keinginan jika proses produksi itu sendiri justru menciptakan keinginan. Anda tentunya juga masih ingat hukum Say yang mengatakan the supply creates its own demand. Tidak mengherankan kemudian jika T. Scitovsky menyatakan bahwa negara-negara kapitalis yang kaya menjadi masyarakat konsumeris yang banyak melakukan pemborosan.
 Dalam perspektif Syari’ah, alasan mengapa seseorang berproduksi dan mengapa harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga kemaslahatan. Aktivitas ekonomi, baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan pada maslahah, merupakan representasi proses meraih sesuatu yang lebih baik di dunia dan akhirat. Segala tindakan ekonomi yang mengandung maslahah bagi manusia tadi disebut dengan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan (meeting/fulfilling needs)—dan bukan memuaskan keinginanan (satisfying wants)—merupakan tujuan dalam aktivitas ekonomi yang sekaligus merupakan kewajiban agama. Oleh karena fulfilling needs merupakan kewajiban agama, maka Ekonomi Islam juga menjadi sebuah “kekuatan pemaksa” bagi masyarakat yang tidak mempunyai keinginan untuk melakukan pembangunan ekonomi.
Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi problem ekonomi adalah, bagaimana individu memenuhi kebutuhannya (fulfilling needs), karena terkadang pada kondisi, waktu dan lokasi tertentu sumber daya yang tersedia menjadi terbatas. Relatifitas scarcity ini pun disinggung dalam al-Qur’an (al-Baqarah, 255):

 2.            Wants versus Needs
Wants dalam teori ekonomi konvensional muncul dari keinginan naluriah manusia, yang muncul dari konsep bebas nilai (value-free concept). Ilmu ekonomi konvensional tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yaitu kelangkaan. Mereka berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan, demikian pula sebaliknya. Padahal konsekuensi dari hal ini adalah terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi-buta dan merusak keseimbangan ekologi.
Pada sisi yang lain, Ekonomi Islam justru tidak memerintahkan manusia untuk meraih segala keinginan dan hasratnya. Memaksimalkan kepuasan (maximization of satisfaction) bukanlah spirit dalam perilaku konsumsi Ekonomi Islam, karena hal tersebut adalah norma-norma yang disokong oleh peradaban yang materialistik. Sebagai gantinya Ekonomi Islam memerintahkan individu untuk memenuhi kebutuhannya/needs sebagaimana yang dikehendaki oleh syari’ah. Needs memang muncul dari keinginan naluriah, namun dalam framework Islam tidak semua keinginan naluriah itu bisa menjadi kebutuhan. Hanya keinginan yang mengandung maslahah saja yang dapat dikategorikan sebagai needs.  

 3.            Maslahah versus Utility
Teori ekonomi konvensional menjelaskan utilitas sebagai upaya untuk menguasai/memiliki barang dan jasa guna memuaskan keinginan manusia. Satisfaction atau kepuasan hanya dapat ditetapkan secara subyektif, sehingga setiap orang dapat menentukan tingkat kepuasannya tergantung pada kriteria yang ia tetapkan sendiri. Semua aktifitas ekonomi, baik itu proses produksi maupun konsumsi, didasari pada semangat utilitas. Namun dalam Ekonomi Islam hanya barang/jasa yang dapat mengembangkan dan menopang maslahah sajalah yang dapat dikategorisasikan sebagai barang/jasa yang mengandung maslahah. Oleh karenanya, dari sudut pandang agama, seorang individu muslim didorong untuk memperoleh atau memproduksi barang/jasa yang mengadung kemaslahatan. Barang/jasa dapat diukur tingkat kemaslahatannya relatif pada kemampuan barang/jasa tersebut untuk mengembangkan maslahah.
Bagi para ekonom muslim, konsep maslahah lebih obyektif dari pada konsep utilitas untuk menganalisis perilaku para pelaku ekonomi. Meskipun maslahah mungkin akan menyisakan sedikit subyektifitas, namun subyektifitas tersebut tidak membuatnya samar seperti yang terjadi dalam konsep utilitas. Ada tiga alasan mengapa maslahah lebih superior dari pada utilitas, yaitu: 
a)      Maslahah memang bersifat subyektif, karena setiap individu dapat menentukan sesuatu yang baik/maslahah bagi diri mereka sendiri. Akan tetapi kriteria untuk menentukan maslahah ini lebih jelas dan terarah, dari pada subyektifitas yang ada pada konsep utilitas. Dalam konsep utilitas, alkohol (minuman keras) bisa jadi mengandung utilitas tapi bisa juga tidak, relatif pada individu masing-masing. Namun dalam Ekonomi Islam, karena alkohol tidak mengandung kemaslahatan dan jelas kontradiktif dengan al-kuliyyah al-khamsah maka jelas alkohol tidak akan dikonsumsi.
b)      Konflik kepentingan antara kepentingan individu dan kepentingan sosial dapat dihindari, atau setidaknya diminimalisir. Hal ini karena kriteria maslahah antara individu dan sosial dapat disinkronkan, sesuai yang tertuang dalam aturan-aturan syar’i. Dalam pandangan Asad Zaman, perilaku konsumsi muslim terkait dengan tiga hal yaitu, altruisme, penolakan terhadap konsep satiation; dan feeding the poor.
c)      Konsep maslahah berlaku pada semua aktifitas ekonomi di masyarakat, baik itu dalam proses produksi dan konsumsi. Berbeda halnya dengan ekonomi konvensional; dimana utilitas adalah tujuan dari konsumsi; sedangkan profit atau keuntungan adalah tujuan dari proses produksi

 4.            Maslahah dalam Proses Produksi
Islam tidak menolak pertimbangan bahwa untuk memproduksi barang/jasa harus mempertimbangkan for whom to produce sehingga akan menentukan what to produce. Dengan mengacu pada konsep maslahah sebagi tujuan dari Maqashid Syari’ah, maka proses produksi akan terkait dengan beberapa faktor berikut:
a)      Karena produsen dalam Islam tidak hanya mengejar profitability namun juga menjadikan maslahah sebagai barometernya, maka ia tidak akan memproduksi barang/jasa yang tidak searah dengan Maqashid Syari’ah, menyalahi al-kulliyyah al-khamsah dan tidak meningkatkan kemaslahatan baik dalam level individu dan sosial. Produsen dalam ekonomi konvensional bisa jadi akan membuka kasino maupun ”pasar kembang a la Jogja” demi mengejar keuntungan. Namun tidak demikian halnya dengan produsen dalam Ekonomi Islam, karena kasino bertentangan dengan hifdzil-maal sedangkan praktek prostitusi tidak sejalan dengan hifdzil-nasl.
b)      Dalam banyak hal, jenis dan jumlah supply relatif pada demand. Jika diasumsikan bahwa semua demand di suatu pasar berdasar pada maslahah yang berakar pada needs, maka supply dari produsen akan mengikuti demand tersebut. Pun andaikata masih ada demand yang tidak sesuai kemaslahatan, maka produsen dalam Ekonomi Islam semestinya tidak mensuplai permintaan tersebut hanya karena profit semata.  Tentulah apa yang telah diuraikan pada sub-bab ini hanya sebagian kecil dari sekian implikasi Maqashid Syari’ah dalam perilaku ekonomi individu muslim. Selain itu, merupakan sebuah ‘keharusan’ bahwa yang uraian tentang implikasi di atas merupakan bentuk dari ‘ijtihad individual’ yang perlu dikomunikasikan dengan para mujtahid lainnya.        


BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
Benang merah yang dapat kita sarikan dari uraian di atas adalah bahwa Maqashid Syari’ah sebagai tujuan dibalik adanya serangkain aturan-aturan telah digariskan oleh Allah SWT. Tujuan tersebut adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan bagi manusia. Semua aspek dalam kehidupan individu muslim harus mengarah pada tercapainya kemaslahatan seperti yang dikehendaki dalam Maqashid Syari’ah.Berdasar simpulan pertama tersebut, maka Ekonomi Islam juga menempatkan Maqashid Syari’ah sebagai acuan, sehingga sistem dan ilmu yang kini tengah diformulasikan dapat memberi kemaslahatan dan mampu menjadi pan-acea terhadap kompleknya problem ekonomi kekinian yang kian akut. Para “mujtahid” di bidang Ekonomi Islam sudah semestinya menerapkan Maqashid Syari’ah dalam proses analisis mereka tentang ekonomi.Maqashid Syari’ah dalam dataran idealnya juga harus berimplikasi pada perilaku ekonomi individu muslim, baik dalam posisinya sebagai konsumen maupun produsen. Kesemua aktivitas ekonomi tersebut harus menuju kepada kemaslahatan sehingga dapat memelihara Maqashid Syari’ah












DAFTAR PUSTAKA



·         Agustianto, Epistemologi Ekonomi Islam, dalam www.pelita.or.id
·         Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, Jakarta: Rajawali Press, 1996. 
·         Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah, Jakarta: Amzah, 2010.
·         Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. 
·         Romli, Muhammad Guntur, Menggagas Fiqh Maqashid dalam www.islamlib.com
·          AM. M. HAFIDZ, MS., M.Ag, Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam.
·         http://esharianomics.com






1 komentar:

apa komentar anda tentang bacaan ini?