Oleh : Muhammad Qamaruddin[1]
Secara personal, manusia memiliki tiga kecerdasan, yaitu kecerdasaan intelektual (Intelligence Quotient; IQ), kecerdasan emosional (Emotional Quotient; EQ), dan kecerdasan terakhir ditemukan (sekitar tahun 2000) adalah kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient; SQ). Ketiga kecerdasan ini saling mendukung pribadi seseorang dalam hidup mereka. Walaupun begitu, sebagian orang kadang terlalu mengedepankan salah satu dari ketiga kecerdasan ini dengan alasan yang beragam. Ada yang lebih mementingkan IQ, ada yang lebih mementingkan EQ, bahkan ada pula yang lebih mementingkan SQ. hal ini pun juga terjadi dalam kasus kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Lalu, apakah sebenarnya yang diperlukan bagi seorang pemimpin? IQ? EQ? atau SQ?
Memang konflik dalam personaliti seorang pemimpin masih berkutat pada dua kecerdasan, yaitu IQ dan EQ. Sedangkan SQ masih menjadi faktor pendukung bagi kedua kecerdasan tersebut, hal ini juga disebabkan SQ yang muncul belakangan. Ironisnya, para pemimpin saat ini masih menempatkan IQ di atas segalanya, dan melupakan betapa pentingnya EQ. Inilah yang menyebabkan kemunduran organisasi, bahkan fatalnya menjadi sebuah kejatuhan. Padahal apabila ditelaah secara seksama, tidak sedikit organisasi yang ada telah dipimpin oleh pemimpin yang berintelektual tinggi, tapi anehnya organisasi hanya bisa jalan tempat, dan akhirnya gulung tikar. Lalu timbul sekelumit pertanyaan, seberapa besarkah kontribusi EQ seorang pemimpin dalam sebuah organisasi? Apakah pemimpin yang mempunyai IQ tinggi bisa memimpin organsisasi tanpa adanya dukungan EQ? Masih banyak lagi pertanyaan yang berkutat pada permasalahan urgensi EQ bagi seorang pemimpin.
Pada dasarnya, dulu orang selalu mengedepankan IQ di atas segalanya. Sebut saja orang yang mempunyai IQ yang tinggi, maka dikatakan bahwa kesuksesan di masa depan telah ia pegang. Tapi sepertinya pernyataan tersebut banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak. Penelitian demi penelitian telah bergulir. Ternyata tidak sedikit para tokoh yang membantah pernyataan tersebut. Ternyata kontribusi EQ terhadap seseorang lebih besar daripada IQ, yaitu 75 % berbanding 25 % (Ramadhy, 2001)[2]. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan kesuksesan, karena 80 % ditentukan oleh keterampilan bergaul, sedangkan sisanya ditentukan oleh keterampilan konseptual (Usman, 2008). Hal ini bisa menjadi alasan bahwa setiap pribadi sangat memerlukan kecerdasan emosional, tidak terkecuali seorang pemimpin. Secara tidak langsung, pemimpin akan mengalami kontak emosional terhadap para bawahannya. Tentunya ini akan berpengaruh pada kinerja mereka, yang kemudian tentu saja akan menentukan pada maju mundurnya sebuah organisasi. dengan kata lain, EQ juga menjadi faktor yang sangat penting dalam menjalankan sebuah organisasi. Tidak bisa dipungkiri, seorang pemimpin adalah orang yang paling memerlukan kecerdasan ini.
Suharsono (2002:109) mengatakan:
Ada banyak keuntungan seseorang memiliki kecerdasan emosional secara memadai. Pertama, kecerdasan emosional jelas mampu menjadi alat untuk pengendalian diri; kedua, kecerdasan emosional bisa diimplementasikan sebagai cara yang sangat baik untuk memasarkan atau membesarkan ide, konsep atau bahkan sebuah produk; ketiga, kecerdasarn emosional adalah modal penting bagi seseorang untuk mengembangkan bakat kepemimpinan dalam bidang apapun juga.
Bagi penulis, kecerdasan emosional bukan hanya bersifat menguntungkan , tapi lebih kepada hal yang memang harus dimiliki. Keuntungan hanyalah sebuah konsekuensi atas kepemilikan seseorang akan kecerdasan emosional. Oleh karena itu, keuntungan-keuntungan tersebut tidak hanya terbatas pada tiga hal di atas. masih banyak keuntungan-keuntungan yang akan didapat oleh seseorang (pemimpin), jika bisa memaksimalkan kecerdasan emosional. Tentunya EQ tidak hanya berimbas pada dirinya dan para pegawai, tapi juga kepada organisasi yang dipimpin.
Di dalam sebuah organisasi, seorang pemimpin adalah kepala bagi para bawahannya. Sangat tidak mungkin sebuah organisasi akan berjalan tanpa adanya seorang pemimpin. Dialah yang memberi perintah, sang pembuat keputusan, sang pembentuk kebijaksanaan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, secara tak sadar EQ berperan sangat signifikan. Emosi seorang pemimpin dapat mempengaruhi perintah, keputusan, dan kebijaksanaan yang akan dibuatnya. Kontak emosi pemimpin terhadap para bawahannya pun mengambil tempat yang sangat penting, karena bisa jadi emosional yang dimiliki pemimpin akan membentuk emosional yang dimiliki oleh para bawahannya. Ketika seorang pemimpin mempunyai tingkat pengendalian emosional yang tinggi, maka rasa hormat, segan, dan senang akan terbangun dengan sendirinya disebabkan caranya memimpin. Sebaliknya, bisa jadi emosional yang dibangun para bawahannya terhadap pimpinannya berdasarkan pada rasa benci, karena sang pemimpin tidak mempunyai kecerdasan emosional. Misalnya seorang pemimpin yang kesulitan membangun komunikasi dengan para bawahannya, sehingga ini akan mengakibatkan menurunnya kinerja para bawahannya.
Selain itu, pada saat seorang pemimpin yang mempunyai tingkat kuasa EQ yang tinggi, maka segala keputusan tidak hanya akan melihat dari satu sudut, tapi ia akan melihat dari berbagai sudut pandang. Ia akan mempertimbangkan banyak hal, baik internal maupun eksternal. Ia tidak hanya memandang dari segi keuntungan (profit) yang akan didapat organisasi, tetapi juga akan mempertimbangkan segi moral (kemanusiaan), apakah keputusan yang dibuatnya telah menguntungkan semua pihak (saingan bisnis adalah pengecualian), atau hanya menguntungkan satu pihak saja. Dari sini kita bisa melihat betapa urgensinya sebuah EQ dalam kepemimpinan sebuah organisasi. dengan segala alasan yang diajukan, apakah kita masih meragukan EQ bagi seorang pemimpin dalam mendampingi IQ?
Banyak hal yang bisa dilakukan seorang pemimpin untuk menumbuhkan atau memaksimalkan EQ di dalam dirinya. Pertama, dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang titik fokusnya adalah melejitkan EQ. Pada masa sekarang, entah kenapa seorang pemimpin hanya terfokus pada permasalahan strategi, cara, kiat, dan segala hal yang bersifat operasional. Mereka lupa bahwa ada hal yang perlu dibangun pada dirinya sendiri, yaitu kecerdasan emosional. Kedua, mempelajari tipe kepemimpinan yang dimiliki. Ketika memimpin sebuah organisasi, kita pasti bisa membaca tipe kepemimpinan yang ada pada kita. Sebut saja tegas, bijaksana, tak pandang buluh, otodidak, seenaknya, dan lain sebagainya. Setelah kita mengetahui tipe yang kita miliki, maka kita pun bisa melanjutkan pepada tahap yang selanjutnya, bentuk kecerdasan emosional seperti apa yang seharusnya dimiliki. Dengan ini semua, maka kemampuan memimpin akan semakin meningkat. Ketiga, mempelajari seluruh kebutuhan organisasi, tidak terkecuali para bawahan. Kesalahan terbesar dari para pemimpin adalah hanya memikirkan hal-hal yang besar, dan melupakan hal-hal yang kecil. Padahal, hal-hal kecil itu juga menjadi faktor dalam memajukan organisasi. misalnya, seorang pemimpin yang lebih arif jika bisa mengingat nama-nama para bawahannya. Alangkah lebih bagus jikalau seorang pemimpin memanggil namanya ketika berkomunikasi. Dengan penyebutan nama, seorang pekerja akan merasa dirinya sangat dihargai. Ia juga akan merasa dirinya adalah orang penting di organisasi tersebut. Ini akan menimbulkan motivasi bekerja yang meluap-luap. Bayangkan saja jika motivasi ini bisa dibagi ke seluruh pekerja, tentunya akan berimbas pada majunya organisasi. keempat, usuwah hasanah dan akhlak seorang pemimpin. Dua hal tersebut adalah bagian dari EQ. Pada saat seorang pemimpin bisa membangun dua hal tersebut, maka sebuah organisasi akan berjalan dengan mulus. Mungkin kita bisa belajar kepada para pemimpin dunia yang mempunyai akhlak baik dan menjadi panutan.
Oleh karena itu, sudah saatnyalah pemimpin lebih perhatian terhadap EQ. Selama kecerdasan ini bisa diraih, maka kualitas pemimpin pun akan meningkat. Organisasi pun akan semakin maju. Di mana-mana akan tumbuh pribadi-pribadi pemimpin yang berkarakter, karena mereka tidak hanya melengkapi diri mereka dengan IQ, tetapi juga dengan EQ.
[1] Penulis adalah mahasiswa Ekonomi Islam FIAI UII, angkatan 2010; NIM: 10423036. Essay ini ditulis untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Pengantar Manajemen” yang diampu oleh Bpk. Drs. Fajar Hidayanto, MM
[2] Tentang Spritual Quotient (SQ) dalam persentase perhitungan di atas, tentunya akan menjadi pertanyaan, kemanakah SQ akan diletakkan? Bagi penulis sendiri, perhitungan di atas bukanlah suatu persoalan, karena penulis sendiri berpendapat bahwa SQ hanyalah menjadi faktor pendukung bagi IQ dan EQ. Dengan kata lain, SQ terdapat pada masing-masing dua kecerdasan tersebut. Sehingga ini menjadi alasan kenapa SQ tidak dihitung secara tersendiri, misalnya IQ = sekian persen, EQ = sekian persen, dan SQ = sekian persen. Kepentingan SQ memiliki tempat tersendiri dalam dua kecerdasan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?