Kamis, 05 April 2012

REMANG-REMANG DI TANAH SEBERANG

‘Ibu malu, Nak…. Ibu malu…’. Ucapan itu terngiang-terngiang di telinga Alvin. Meskipun malam itu dua jarum jam telah sepakat bersatu di angka satu, mata Alvin tetap terjaga. Seraya memandang langit-langit kamar, khayalannya memutar kembali rekaman percakapan tersebut.

            “…Rina tetap tidak mau menerima lamaran tersebut…,” ujar Ibu Alvin sambil menangis. Terdengar pedih sekali. Rembesan air mata seakan keluar dari HP yang dipegang oleh Alvin, menyeberangi lintas alam yang sangat luas. Suasana mengambang dalam kepahitan hati. “Ibu tidak tahu apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Adikmu,” Ibunya meneruskan percakapannya.

            “Mungkin ia merasa belum cocok, Bu,” Alvin sedikit menimpali.

            “Lalu kenapa ia mengenalkan laki-laki itu kepada Ibu dan Bapak?? Kalau memang merasa tidak cocok, tidak usah dikenalkan saja!”. Kali ini suara Ibunya sedikit mengeras. Suasana kembali sunyi senyap. Hanya sesekali terdengar suara cecegukan Ibunya. “Nak, Ibu mohon…cobalah kamu berbicara dengan Adikmu. ajaklah ia berbincang-bincang tentang masalah ini. Jelaskan perasaan sakit hati Ibu kepadanya. Mungkin saja hatinya akan luluh. Ibu rasa, Rizal adalah anak yang baik. Tak ada salahnya kita menerima lamarannya”, jelas Ibu Alvin.

Setelah sedikit berbasa-basi, percakapan diakhiri dengan salam hangat dari anak kepada Ibunya. Rindu akan ibunya, bapaknya, adiknya, keluarganya, dan kampung halamannya tumbuh kembali. Hampir dua tahun ia tidak pulang ke Kalimantan. Pulau Jawa menjadi pilihannya untuk melanjutkan studinya. Sampai permasalahan Adiknya pun terlewati olehnya. Besok, Alvin berniat akan menelepon adiknya. ‘Dik, jelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi’, ujar Alvin membatin.

* * *

            “Rina mau kuliah dulu, Kak,” jelas Rina di telepon kepada Alvin. Untuk seorang mahasiswi yang telah menempuh rentan waktu tiga semester, alasan itu sangatlah masuk akal. “Kak Rizal memang laki-laik yang baik. Sebentar lagi dia juga akan diwisuda. Rina rasa, Ibu dan Bapak juga sangat menyukai dia. Tapi kalau Rina dipaksa untuk menikah sekarang, Rina tidak akan mau,” sambungnya. Alvin menghembuskan nafas panjang.

            “Kakak rasa, permasalahan ini tidak hanya sebatas mau kuliah dulu atau tidak, tapi lebih perasaan Ibu”. Alvin menimpalinya. “Rina tahu kan, Bapak hanya seorang pensiunan tentara. Sedangkan Ibu hanya dapat membuka warung kecil-kecilan di depan rumah. Seandainya Kakak di sini kuliah tidak sambil kerja, tentu orang tua kita tidak akan bisa membiayai kita berdua. Rina juga sudah tahu kan, sebagian besar uang itu diberikan kepada Rina untuk biaya kuliah. Kakak tidak pernah lagi minta.” Panjang lebar Alvin menjelaskannya. Rina hanya dapat diam mendengarkan penjelasan tersebut. Alvin melanjutkan ucapannya.

“Kakak paham kok, kenapa Ibu merasa sangat sakit hati ketika Rina menolak Rizal. Apalagi ketika Kakak tahu kalau Rizal itu orang berpunya. Tentu Ibu berharap sekali dia bisa membantu keluarga kita, mungkin juga dapat membantumu jika ingin menyelesaikan kuliah. Dik, Rizal orang yang baik kan?” Tanya Alvin.

            “Iya Kak…,” jawab Rina sendu. Alvin menunggu ucapan apalagi yang akan keluar dari mulut adiknya. Tak ada. Alvin kembali meneruskan percakapannya.

            “Rina….Kakak tidak akan memaksa. Kakak paham keadaan Rina, tapi Kakak juga memikirkan keadaan Ibu. Seandainya Rina punya solusi, mungkin kita dapat menyelesaikan masalah ini dengan jalan yang lain”.

            “Ada Kak,…” ujarnya tiba-tiba. Seakan-akan Alvin melihat mata Rina yang berbinar-binar. “Rina akan kuliah sambil kerja.”

* * *

            Pagi yang cerah. Burung-burung riang mengiramakan suara alam. Alvin bersiap-siap pergi ke kampus. Tiba-tiba HP-nya berdering. Layar HP menunjukkan nama adiknya.

            “Assalamualaikum”, sapa Alvin ramah.

            “Waalaikumsalam. Kakak…bisa pulang ke Kalimantan secepatnya?” Tanyanya tiba-tiba. Ada apa ini? Tanya Alvin membatin. “Ada yang mau melamar Rina lagi. Bukan Kak Rizal. Rina tidak mau ibu yang menghadapi laki-laki ini. Rina mau Kakak yang ada di sini.” Telepon langsung dimatikan. Alvin bingung. Padahal baru lima bulan sejak masalah yang sama itu terjadi. Kini masalah itu kembali ada. (MQ)

 


0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?