‘Kamu ingin
memberi, tapi ia sudah memilikinya. Atau sebaliknya, ia ingin memberi, tapi
kamu sudah memilikinya. lalu, apalagi yang harus kita lakukan?
Diskusi
mingguan pada malam jum’at di PP UII memang selalu menghadirkan hal baru. Salah
satunya adalah statemen di atas yang tersemburat dari seorang santri. Ia
memberikan sebuah analogi untuk dijadikan bahan renungan bersama. Analogi ini
terkait dengan ilmu pengetahuan. Apa jadinya jika semua orang mengetahui apa
yang kita ketahui. Sebaliknya, ia juga mengetahui apa yang kita ketahui. Dengan
kata lain, sama-sama memiliki. Lagi-lagi kita akan bertanya, apa yang harus
kita lakukan?
Manusia
adalah makhluk sosial. Adanya kontak satu sama lain akan memberikan siklus saling
memberi dan menerima. Jika manusia tidak memberi, maka ia akan menerima. Atau
lagi-lagi sebaliknya, jika ia tidak menerima, ia akan memberi. Ayah memberikan
uang kepada anaknya, guru memberikan tugas kepada muridnya, polisi memberikan
sanksi kepada pelanggar hukum, pengemis menerima sedekah dari para dermawan,
bayi menerima ASI dari ibunya, dan lain sebagainya. ini dapat dikaitkan dengan
konsep saling memberi dan menerima
Mari kita
berbicara ke ranah yang lebih luas. Ilmu pengetahuan! Ya…hal inilah yang
disinggung oleh santri tersebut. Dengan stetemen yang telah disebutkan di atas,
ia mengajak kita untuk berpikir jauh lebih dalam. Ia hanya ingin mempertegas
sesuatu yang seharusnya dilakukan sejak dulu. Bukan memberi yang sudah
dipunyai, tapi memberi sesuatu yang belum dipunyai!
Bagi saya
pribadi, saya sependapat dengannya. PP UII adalah wadah dengan segala corak
kepribadian yang beragam. Prodi yang berbeda, kecerdasan yang berbeda, keahlian yang berbeda, kegemaran yang
berbeda, dan lain sebagainya. Tempat ini
penuh dengan warna-warna. Inilah ‘Bhineka Tunggal Ika’-nya Indonesia dalam
versi kecil. Lebih jauh lagi, ini dapat menjadi sebuah siklus saling memberi
dan menerima yang sangat efisien.
Pada
dasarnya, sebuah pondok pesantren akan dihuni orang-orang yang nyaris berilmu
pengetahuan sama. Tidak nahwunya, sharafnya, hukum islamnya, dan lain-lain
dalam kaitan studi keislaman. Lalu apa jadinya jika semua itu sudah dibungkus
dalam program studi universitas yang sudah menjurus sesuai keinginnnya?
Terjadilah dinamika pendapat menurut perpektif studi masing-masing. Sangat
menarik memang. Saya yang ekonomi Islam akan menanggapi suatu masalah dengan
ilmu yang saya miliki. Teman saya akan menanggapi dengan perspektif ilmu
tarbiyahnya, yang lain dengan perspektif ilmu kimianya, yang lain dengan
perspektif ilmu komunikasi, dan perkpektif-perspektif lainnya. Islam pun akan
semakin menarik untuk dikaji.
Sekali
lagi, inilah yang dimaksud dengan statemen di atas. ketika seseorang
menyampaikan suatu fenomena, namun dengan perpekstif ilmu pondok pesantren,
maka semua akan mengatakan ‘itu sudah kami pahami!’. Ingin memberi, tapi sudah
punya. Ilmu pengetahuan pun tidak berkembang. Atau dengan kata lain, akan jalan
di tempat. Padahal di dalam ranah diskusi, perbedaan perspektif akan
menimbulkan kekayaan pengetahuan yang sangat bervariasi.
Menurut
saya, akan sangat menarik apabila dapat memberi sesuatu yang orang lain belum
mempunyainya. Perbedaan pandangan dalam
menanggapi sesuatu, akan membuat suasana diskusi kaya akan hal-hal baru. di
sisi lain, orang lain akan mengetahui cara pandang orang lain yang berbeda. Ia
dapat menerima, dan ia pun dapat memberi. Oleh karena itu, pertanyaan di atas
dapat dijawab. Ini adalah hasil perenungan agar tidak ada lagi yang kebingungan.
Apa yang harus diberi dan apa yang seharusnya diterima. (Muhammad Qamaruddin)
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?