Senin, 23 April 2012

SIKLUS SALING MEMBERI DAN MENERIMA


Kamu ingin memberi, tapi ia sudah memilikinya. Atau sebaliknya, ia ingin memberi, tapi kamu sudah memilikinya. lalu, apalagi yang harus kita lakukan?

            Diskusi mingguan pada malam jum’at di PP UII memang selalu menghadirkan hal baru. Salah satunya adalah statemen di atas yang tersemburat dari seorang santri. Ia memberikan sebuah analogi untuk dijadikan bahan renungan bersama. Analogi ini terkait dengan ilmu pengetahuan. Apa jadinya jika semua orang mengetahui apa yang kita ketahui. Sebaliknya, ia juga mengetahui apa yang kita ketahui. Dengan kata lain, sama-sama memiliki. Lagi-lagi kita akan bertanya, apa yang harus kita lakukan?

            Manusia adalah makhluk sosial. Adanya kontak satu sama lain akan memberikan siklus saling memberi dan menerima. Jika manusia tidak memberi, maka ia akan menerima. Atau lagi-lagi sebaliknya, jika ia tidak menerima, ia akan memberi. Ayah memberikan uang kepada anaknya, guru memberikan tugas kepada muridnya, polisi memberikan sanksi kepada pelanggar hukum, pengemis menerima sedekah dari para dermawan, bayi menerima ASI dari ibunya, dan lain sebagainya. ini dapat dikaitkan dengan konsep saling memberi dan menerima
            Mari kita berbicara ke ranah yang lebih luas. Ilmu pengetahuan! Ya…hal inilah yang disinggung oleh santri tersebut. Dengan stetemen yang telah disebutkan di atas, ia mengajak kita untuk berpikir jauh lebih dalam. Ia hanya ingin mempertegas sesuatu yang seharusnya dilakukan sejak dulu. Bukan memberi yang sudah dipunyai, tapi memberi sesuatu yang belum dipunyai!
            Bagi saya pribadi, saya sependapat dengannya. PP UII adalah wadah dengan segala corak kepribadian yang beragam. Prodi yang berbeda, kecerdasan yang berbeda,  keahlian yang berbeda, kegemaran yang berbeda, dan lain sebagainya.  Tempat ini penuh dengan warna-warna. Inilah ‘Bhineka Tunggal Ika’-nya Indonesia dalam versi kecil. Lebih jauh lagi, ini dapat menjadi sebuah siklus saling memberi dan menerima yang sangat efisien.
            Pada dasarnya, sebuah pondok pesantren akan dihuni orang-orang yang nyaris berilmu pengetahuan sama. Tidak nahwunya, sharafnya, hukum islamnya, dan lain-lain dalam kaitan studi keislaman. Lalu apa jadinya jika semua itu sudah dibungkus dalam program studi universitas yang sudah menjurus sesuai keinginnnya? Terjadilah dinamika pendapat menurut perpektif studi masing-masing. Sangat menarik memang. Saya yang ekonomi Islam akan menanggapi suatu masalah dengan ilmu yang saya miliki. Teman saya akan menanggapi dengan perspektif ilmu tarbiyahnya, yang lain dengan perspektif ilmu kimianya, yang lain dengan perspektif ilmu komunikasi, dan perkpektif-perspektif lainnya. Islam pun akan semakin menarik untuk dikaji.
            Sekali lagi, inilah yang dimaksud dengan statemen di atas. ketika seseorang menyampaikan suatu fenomena, namun dengan perpekstif ilmu pondok pesantren, maka semua akan mengatakan ‘itu sudah kami pahami!’. Ingin memberi, tapi sudah punya. Ilmu pengetahuan pun tidak berkembang. Atau dengan kata lain, akan jalan di tempat. Padahal di dalam ranah diskusi, perbedaan perspektif akan menimbulkan kekayaan pengetahuan yang sangat bervariasi.
            Menurut saya, akan sangat menarik apabila dapat memberi sesuatu yang orang lain belum mempunyainya.  Perbedaan pandangan dalam menanggapi sesuatu, akan membuat suasana diskusi kaya akan hal-hal baru. di sisi lain, orang lain akan mengetahui cara pandang orang lain yang berbeda. Ia dapat menerima, dan ia pun dapat memberi. Oleh karena itu, pertanyaan di atas dapat dijawab. Ini adalah hasil perenungan agar tidak ada lagi yang kebingungan. Apa yang harus diberi dan apa yang seharusnya diterima. (Muhammad Qamaruddin)

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?