“Di mana kaki berpijak, di situ
langit dijunjung”, tentunya kita semua pernah mendengar pernyataan ini. Sebuah
nasehat yang diberikan kepada seorang pendatang untuk selalu menghargai dan
menghormati adat-istiadat serta kebiasaan orang setempat. Beda tempat, beda
aturan; begitulah kalau saya ingin menyebutnya. Bisa jadi apa yang dianggap
baik di tempat (kampung halaman) kita, menjadi hal yang paling buruk di tempat
yang berbeda, atau sebaliknya, yang buruk bisa dianggap hal yang lumrah di tanah
orang. Semuanya tergantung pada peraturan-peraturan setempat yang berlaku.
“Ini
tanah orang! Jadi kita juga harus menjunjung apa yang mereka junjung, dan
tentunya saling menghormati satu sama lain”, mungkin begitu kira-kira apa yang
mereka terapkan dalam diri mereka masing-masing. Bagi diri saya pribadi,
pernyataan ‘di mana kaki berpijak, di situ langit dijunjung’ baru terasa ketika
saya sudah berada di luar kampung halaman.
Saya
adalah keturunan asli orang Banjar, adat-istiadat Jawa adalah hal yang sangat
asing bagi saya. Ketika saya baru datang ke Pulau Jawa, tepatnya di kota
Yogyakarta, saya masih buta dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di sini.
Semuanya masih samar-samar. Sehingga saya masih berpikir kalau apa yang baik di
tempat saya, mungkin di sini juga baik. Sehingga pada suatu hari, saya
benar-benar mendapatkan sebuah pengalaman berharga.
Awal
kisah, pada suatu hari saya mendapat tugas untuk mengajar Al-Qur’an di TPA
Al-Hidayah di Jatimulyo (salah satu TPA di Yogyakarta). Saat itu saya pergi
bersama kawan saya, Imam Syahroni, Seorang mahasiswa fakultas MIPA yang berasal
dari Pati-Jawa Timur. Singkat cerita, pada saat pulang ke asrama (kami satu
asrama), kami lupa jalan pulang. Sudah hampir setengah jam kami bolak balik di
tempat yang sama. Tapi hasilnya tetap sama, nihil. Padahal hari sudah menjelang
malam. Awalnya, kami memang tak ada niatan untuk bertanya kepada orang-orang
setempat kemana arah menuju Jalan Selokan Mataram (alamat asrama kami), karena
kami masih yakin dengan insting yang ada pada kami. Tapi nyatanya, kami semakin
tersesat!
Imam
Syahroni mengambil inisiatif untuk bertanya kepada orang lain. “Daripada ga
nyampe-nyampe, muter-muter aja di sini kayak komidi putar,” ujarnya dengan
logat Jawa yang sangat kental. Saya hanya mengiyakan.
Akhirnya
kami yang pada saat itu mengendarai motor, singgah di salah satu rumah.
Kebetulan sang penghuni rumah sedang duduk di depan teras. Namun ketika motor
sudah dihentikan, aku langsung saja bertanya kepada laki-laki itu.
“Mas,
numpang Tanya, Kalau mau menuju jalan raya, lewat mana ya?” Tanyaku. Aku masih
duduk di atas jok motor. Laki-laki itu hanya memandangiku dengan mata yang
sinis.
“Mas,
kalau bertanya dengan orang Jawa, TURUN DULU dari motor, matikan juga
motornya!” Ujarnya dengan suara tinggi. Aku sangat terkejut mendengarnya. Imam
Syahroni yang saat itu sudah membaca keadaan, langsung mematikan motor. Ia
memandangiku dengan santai. Aku paham, dari pandangannya tersebut ia ingin aku
untuk menyerahkan masalah ini kepadanya. Imam Syahroni langsung turun dari
motor. Didatanginya laki-laki itu. Tak lama kemudian terjadilah percakapan yang
sangat panjang. Aku pun perlahan-lahan turun dari motor. Jujur, aku tak paham
dengan apa yang mereka bicarakan, karena mereka berbicara dengan bahasa Jawa!
Saat
itu, aku memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan oleh kawanku itu. Dari
bicaranya, ia terlihat begitu menghormati laki-laki itu. Tak ayal lagi,
laki-laki itu pun juga segan kepadanya. Sekilas aku memang mendengar kalau Imam
Syahroni menyebutkan namaku. Sepertinya ia sudah memberitahu laki-laki itu
kalau aku bukan orang sini.
Keterangan
sudah didapat. Kami berjalan perlahan-lahan menuju jalan besar. Alhamdulillah.
Di jalan, Imam Syahroni berkata kepadaku,
“Mas,
kalau mau Tanya dengan orang Jawa tentang jalan, harus turun dulu dari motor.”
“Maaf
Mas, aku benar-benar tidak tahu. Kalau di tempatku, hal seperti itu biasa
saja,” jawabku malu-malu.
“Tapi
di sini beda, Mas,” timpalnya dengan lembut. Aku hanya mengangguk, mengiyakan
apa yang diucapkannya.
Satu
pengalaman berharga bagiku. Bagi orang Jawa, bertanya jalan sambil duduk di
atas jok motor dan belum mematikan mesin adalah SANGAT TIDAK SOPAN! Alhamdulillah
sekarang aku sudah tahu. Tapi terus terang, banyak hal lagi yang harus aku
pelajari, sehingga kita tidak di sebut orang yang tak menghormati adat orang
setempat, tidak mau kan….?
(Muhammad Qamaruddin)
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?