Minggu, 15 April 2012

TURUN DULU!!



            “Di mana kaki berpijak, di situ langit dijunjung”, tentunya kita semua pernah mendengar pernyataan ini. Sebuah nasehat yang diberikan kepada seorang pendatang untuk selalu menghargai dan menghormati adat-istiadat serta kebiasaan orang setempat. Beda tempat, beda aturan; begitulah kalau saya ingin menyebutnya. Bisa jadi apa yang dianggap baik di tempat (kampung halaman) kita, menjadi hal yang paling buruk di tempat yang berbeda, atau sebaliknya, yang buruk bisa dianggap hal yang lumrah di tanah orang. Semuanya tergantung pada peraturan-peraturan setempat yang berlaku.
         
  Kadang saya bingung dengan orang yang terus membela egonya dan membawa peraturan-peraturan yang berlaku di tempatnya sendiri di tanah orang. Sehingga yang terjadi adalah peng-asing-an diri, karena ketidak cocokan dan ketidak harmonisan. Memang -saya tegaskan- tak ada yang salah dengan hal ini. Saya banyak menemukan komunitas-komunitas satu daerah di berbagai tempat, seperti orang-orang Bugis, Batak, Banjar, Cina, Melayu, dan lain sebagainya. Tapi mereka bisa berbaur dengan orang setempat, mereka saling bantu satu sama lain.
“Ini tanah orang! Jadi kita juga harus menjunjung apa yang mereka junjung, dan tentunya saling menghormati satu sama lain”, mungkin begitu kira-kira apa yang mereka terapkan dalam diri mereka masing-masing. Bagi diri saya pribadi, pernyataan ‘di mana kaki berpijak, di situ langit dijunjung’ baru terasa ketika saya sudah berada di luar kampung halaman. 
Saya adalah keturunan asli orang Banjar, adat-istiadat Jawa adalah hal yang sangat asing bagi saya. Ketika saya baru datang ke Pulau Jawa, tepatnya di kota Yogyakarta, saya masih buta dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di sini. Semuanya masih samar-samar. Sehingga saya masih berpikir kalau apa yang baik di tempat saya, mungkin di sini juga baik. Sehingga pada suatu hari, saya benar-benar mendapatkan sebuah pengalaman berharga.
Awal kisah, pada suatu hari saya mendapat tugas untuk mengajar Al-Qur’an di TPA Al-Hidayah di Jatimulyo (salah satu TPA di Yogyakarta). Saat itu saya pergi bersama kawan saya, Imam Syahroni, Seorang mahasiswa fakultas MIPA yang berasal dari Pati-Jawa Timur. Singkat cerita, pada saat pulang ke asrama (kami satu asrama), kami lupa jalan pulang. Sudah hampir setengah jam kami bolak balik di tempat yang sama. Tapi hasilnya tetap sama, nihil. Padahal hari sudah menjelang malam. Awalnya, kami memang tak ada niatan untuk bertanya kepada orang-orang setempat kemana arah menuju Jalan Selokan Mataram (alamat asrama kami), karena kami masih yakin dengan insting yang ada pada kami. Tapi nyatanya, kami semakin tersesat!
Imam Syahroni mengambil inisiatif untuk bertanya kepada orang lain. “Daripada ga nyampe-nyampe, muter-muter aja di sini kayak komidi putar,” ujarnya dengan logat Jawa yang sangat kental. Saya hanya mengiyakan.
Akhirnya kami yang pada saat itu mengendarai motor, singgah di salah satu rumah. Kebetulan sang penghuni rumah sedang duduk di depan teras. Namun ketika motor sudah dihentikan, aku langsung saja bertanya kepada laki-laki itu.
“Mas, numpang Tanya, Kalau mau menuju jalan raya, lewat mana ya?” Tanyaku. Aku masih duduk di atas jok motor. Laki-laki itu hanya memandangiku dengan mata yang sinis.
“Mas, kalau bertanya dengan orang Jawa, TURUN DULU dari motor, matikan juga motornya!” Ujarnya dengan suara tinggi. Aku sangat terkejut mendengarnya. Imam Syahroni yang saat itu sudah membaca keadaan, langsung mematikan motor. Ia memandangiku dengan santai. Aku paham, dari pandangannya tersebut ia ingin aku untuk menyerahkan masalah ini kepadanya. Imam Syahroni langsung turun dari motor. Didatanginya laki-laki itu. Tak lama kemudian terjadilah percakapan yang sangat panjang. Aku pun perlahan-lahan turun dari motor. Jujur, aku tak paham dengan apa yang mereka bicarakan, karena mereka berbicara dengan bahasa Jawa!
Saat itu, aku memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan oleh kawanku itu. Dari bicaranya, ia terlihat begitu menghormati laki-laki itu. Tak ayal lagi, laki-laki itu pun juga segan kepadanya. Sekilas aku memang mendengar kalau Imam Syahroni menyebutkan namaku. Sepertinya ia sudah memberitahu laki-laki itu kalau aku bukan orang sini.
Keterangan sudah didapat. Kami berjalan perlahan-lahan menuju jalan besar. Alhamdulillah. Di jalan, Imam Syahroni berkata kepadaku,
“Mas, kalau mau Tanya dengan orang Jawa tentang jalan, harus turun dulu dari motor.”
“Maaf Mas, aku benar-benar tidak tahu. Kalau di tempatku, hal seperti itu biasa saja,” jawabku malu-malu.
“Tapi di sini beda, Mas,” timpalnya dengan lembut. Aku hanya mengangguk, mengiyakan apa yang diucapkannya.
Satu pengalaman berharga bagiku. Bagi orang Jawa, bertanya jalan sambil duduk di atas jok motor dan belum mematikan mesin adalah SANGAT TIDAK SOPAN! Alhamdulillah sekarang aku sudah tahu. Tapi terus terang, banyak hal lagi yang harus aku pelajari, sehingga kita tidak di sebut orang yang tak menghormati adat orang setempat, tidak mau kan….?
           
 (Muhammad Qamaruddin)

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?