BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana maklum, Al Quran adalah sumber perundangan
pertama, diikuti oleh As Sunnah (Al hadis). Sehubung dengan itu, Ijma' ulama'
dan Al Qias juga diterima sebagai sumber perundangan yang tidak disepakati.
Disamping itu, terdapat beberapa sumber lain yang bersifat dalil zanni.
Diantaranya adalah kaedah istihsan. Ulama' berselisih pendapat dengan ta'rifan
istihsan ini yaitu,:
a) Al Hilwani dan Al Hanafi
mengatakan istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias
yang lebih kuat. Hal ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya.
b) Menurut Imam Abu Hasan Al
Karkhi Al Hanafi pula, ia merupakan penetapan hokum oleh mujtahid terhadap
sesuatu masalah yang menyimpang daripada ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yng sama disebabkan alas an yang lebih kukuh.
c) Jumhur ulama' Usul menyatakan istihsan adalah
menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy (pengecualian)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ISTIHSAN
Istihsan, menurut bahasa ialah mengembalikan sesuatu kepada
yang baik[1].
Istihsan dapat juga diartikan:[2]
عَدَّ الشـَّـْئُ حَسَنـًا وَهُوَ مُشـْتـَقٌّ مِنَ الـْحَسَنِ
Artinya:
"Sesuatu
yang dianggap bik, istilah itu berasal dari kata hasana yang berarti baik atau
indah."
Seperti firman Allah SWT:
فـَبـَشـِّرْ عِبَادِى الـَّذِيْنَ يَسْتـَمِعُوْنَ الـْقـَوْلَ
فـَيـَتـَّبـِعُوْنَ أحْسَنـَهُ
Artinya:
"maka
gembirakanlah hamba-hambaku yang mendengar perkataan, lalu mengikuti yang lebih
baik daripadanya. (Azzumar 17-18)
Di dalam hadist Rasul disebutkan:
مَا رَآهُ الـْمُسْلـِمُوْنَ حَسَنـًا فـَهُوَ عِنـْدَ اللهِ حَسَنٌ
Artinya:
"Apa-apa
yang dianggap baik oleh orang-orang muslim maka dianggap satu hal yang baik di
sisi Allah. (H.R. Ahmad).
Sedangkan istihsan menurut isthilah
ulama ushul ialah:
بـِأنـَّهُ الـْعُدُوْلُ بـِالـْمَسْألـَةِ عَنْ الـْحُكـْمِ نـَظـَائِرِهـَا
إلـَى حُكـْمٍ آخـَرَ لِوَجْوٍ أقـْوَى مِنـْهُ
Artinya:
"istihhsan
itu, berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya
ke hukum lain karena adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat baik. (Imam
Al-Karkha Hanafy).
Secara etimologi,[3]
istihsan berarti "menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu".
Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam mempergunakan lafal
istihsan dalam pengertian etimologi., karena lafal yang seakar dengan istihsan
banyak dijumpai dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.
Di samping
itu, para mujtahid juga sering menggunakan istihsan dalam pengertian etimologi
ini, seperti ucapan Imam al-Syafi'i:
أسْتـَحْسِنُ فـِى الـْمُتـْعَةِ أيْ الهَدِيـَّةِ بَعْدَ الطـَّلـَاقِ
أنْ تـَكـُوْنَ ثـَلـَاثـَةِ أيـَّامٍ
"Saya
menganggap baik memberikan hak syuf'ah baik al-syafi' sampai tiga hari".
Secara terminology Imam al-Bazdawi
(400-482 H/1010-1079 M; Ahli ushul fiqh Hanafi), mendifinisikan istihsan dengan
العُدُوْلُ مِنْ مُوْجـِبِ قِيـَاسٍ إلـَى قِيـَاسٍ أقـْوَى مِنـْهُ
أوْ هُوَ تـَخـْصِيْصُ قِيَاسٍ بـِدَلِيْلٍ أقـْوَى مِنـْهُ
"Berpaling
dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan
dalil yang lebih kuat".
Imam al-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M,
ahli ushul fiqh Hanafi), mengatakan:
الإسْتِحْسَانُ هُوَ تـَرْكُ الـْقِيَاسٍ وَ الـْعَمَلُ بـِمَا
هُوَ أقـْوَى مِنـْهُ لِدَلِيْلٍ يَقـْضِى ذالِكَ وِفـْقـًا لِمَصْلـَحَةِ النـَّاسِ
"Istihsan
itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena
adanya dalil yang mengkehendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia".
Imam Malik sebagaimana
dinukilkan Imam Syathibi (w. 790 H), ahli ushul fiqh Maliki), mendefinisikan
istihsan dengan:
الأخـْذُ بـِمَصْلـَحَةٍ جُزْئـِيـَّةٍ فـِى مُقـَابَلـَةِ دَلـِيْلٍ
كـُلـَّيٍّ
"Memberlakukan
kemaslahatan juz'i ketika berhadapan dengan kaidah umum".
B. MACAM-MACAM
ISTIHSAN[4]
Ulama Hanafiyyah membagi
istihsan kepada 6 macam, yaitu:
1.
Istihsan bi al-Nash/الإستحسان بالنص (Istihsan berdasarkan ayat atau hadist).
Maksudnya, ada ayat atau hadist tentang hukum suatu kasus yang berbeda
dengan ketentuan kaidah umum. Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan
umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak
milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak
cakap laig, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini dikecualikan
melalui firman Allah dalam surat an-Nisa, 4: 11:
….setelah
mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang…..
Berdasarkan ayat ini, kaidah umum itu tidak berlaku untuk masalah
wasiat. misal istihsan dengan Sunnah rasul adalah dalam kasus orang yang makan
dan minum karena lupa ketika ia sedang puasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa
orang ini batal karena ia telah memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan
tidak menahan puasanya sampai berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh
hadist Rasulullah saw. yang mengatakan:
مَنْ أكـَلَ أوْ شـَرِبَ نـَاسِيًا
فـَلاَ يـُفـْطِرْ فـَإنـَّمَا هُوَ رِزْقٌ رَزَقـَهُ الله ُ
“Siapa
yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena hal itu
merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya.” (H.R. al-Tirmidzi)
2.
Istihsan bi al-Ijma'/الإستحسان بالإجماع (istihsan yang didasarkan kepada ijma’).
Misalnya adalah dalam kasus
pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus
jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai.
Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak.
Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa
pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang
terpakai.
3.
Istihsan bi al-qiyas al-khafiy/الإستحسان بالقياس
الخفى (istihsan berdasarkan qiyas
yang tersembunyi).
Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian, menurut ketentuan qiyas
jaliy (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik
lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut.
Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang
lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak
termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas
al-khafiy (qiyas yang tersembunyi) wakaf itu sama dengan sewa menyewa,
karena maksud dari wakaf adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan.
Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian
tersebut, seperti hak melewati lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air di
atas lahan pertanian tersebut, termasuk ke dalam akad wakaf, sekalipun tidak
dijelaskan dalan akad. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas
al-khafiy), maka ia disebut berdalil dengan istihsan.
4.
Istihsan bi al-Mashlahah/الإستحسان بالمصلحة(istihsan
berdasarkan kemaslahatan).
Misalnya, ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak
bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduk pabrik tersebut,
kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, Karena mereka hanya sebagai
buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan dalam memelihara harta
orang lain dari sikap tidak bertanggungjawab para buruh dan sulitnya
mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama
Hanafiyyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus
bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk pabrik itu, baik disengaja maupun
tidak.
Ulama Malikiyyah mencontohkannya dengan kebolehan dokter melihat
aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidah
umum (qiyas), seseoran dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi, dalam
keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya,
maka untuk kemaslahatan diri orang itu, menurut kaidah istihsan seorang dokter
boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5.
Istihsan bi al-‘Urf/الإستحسان بالعرف(istihsan
berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’ nomor dua
di atas, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak air
dan lama pemandian itu digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat
bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.
6.
Istihsan bi al-dharurah/الإستحسان
بالضرورية(istihsan berdasarkan keadaan darurat).
Artinya, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid
tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya dalam kasus sumur yang
kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan
mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut,
karena sumur yang sumbernya dari mata air, sulit untuk dikeringkan. Akan
tetapi, ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk
menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa gallon air ke
dalam sumur itu, karena keadaan darurat yang menghendaki agar orang tidak
mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan
hidupnya.
C. PEMBAGIAN ISTIHSAN[5]
Istihsan
pada dasarnya dibagi menjadi dua:
1. Segi dalil yang ditinggalkan
dan dalil yang masih terpakai.
Ini ada beberapa bagian:
a.
dari qiyas yang jelas menuju qiyas yang tidak jelas. Contoh;
menurut qiyas hak pengairan dan lalu lintas yang ada dalam tanah pertanian yang
diwaqafkan, tidak ikut diwaqafkan, apabila tidak disebutkan tegas-tegas. Tetapi
menurut istihsan dapat masuk diwaqafkan. Menurut qiyas yang jelas, waqaf
tersebut dipersamakan dengan jual beli karena persamaan tujuan yaitu
mengeluarkan hak milik atas sesuatu dari orang yang mempunyainya. Dalam jual
beli hak pengairan dan lalu lintas tidak termasuk. Demikian dalam masalah
waqaf.
Akan tetapi menurut qiyas yang tidak jelas, waqaf
tersebut disamakan dengan sewa-menyewa karena tujuan sama yaitu, mengambil
manfaat barang bukan miliknya sendiri. Dalam menyewakan tanah pertanian, hak
pengairan dan lalu lintas termasuk meskipun tidak disebutkan. Demikian pula
dalam waqaf.
Meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas dan mengambil
ketentuan qiyas yang tidak jelas, seperti dalam contoh di atas, dinamakan
istihsan. Dasar peninggalan ini ialah pengambilan manfaat dari barang waqafan.
b.
Dari ketentuan nash yang umum menuju hukum yang khusus;
Sebagai contoh ialah pengecualian hukuman potongan
tangan pencuri dari ketentuan ayat 38 surat al-maidah yang menyatakan adanya
hukuman tersebut apabila pencurian tersebut dilakukan dalam musim
kelaparan/paceklit sebagaimana yang pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin
Khattab ra. (Lihat Manhajj Umar Fittasyri'il Islamy oleh Dr. Muhammad Bultaji
hal. 225-245) dan Umar bin Khattab Waushulussiyasatil Haditsh oleh Dr. Sulaiman
Aththamawi hal. 201)
c.
Dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian; misalnya;
orang yang titipi sesuatu barang, sesudah meninggalkannya, harus menggantinya,
apabila ia melalaikan pemeliharaan barang tersebut. Dari segi istihsan seorang
ayah tidak diwajibkan menggantinya karena ia bisa menggunakan harta benda
anaknya untuk biaya hidupnya (anak) atau untuk dagang, yang boleh jadi bisa
mengalami kerugian.
2. segi sandaran dasar istihsan
a.
dasar yang berupa qiyas, seperti contoh di atas.
b.
Dasar yang berupa nash; seperti larangan menjual barang yang
tidak/belum ada yang dikeluarkan Nabi saw. Akan tetapi ia memperbolehkan Salam
(jual buah tanaman sebelum masa mengetamnya.
c.
Dasar yang berupa kebiasaan; seperti pesan pakaian yang
seharusnya tidak sah, karena barangnya belum ada. Akan tetapi menurut istihsan,
diperbolehkan sebab perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan.
D.
KEHUJJAHAN ISTIHSAN[6]
Terdapat perbedaan pendapat
ulama ushul fiqih dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil
dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah
dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam
menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
1.
Ayat-ayat yang mengacu kepada pengangkatan kesulitan
dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-baqarah,
2: 185:
….Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki
kesukaran bagi kamu…
2.
Rasulullah
dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
مَا
رَآهُ الـْمُسْلـِمُوْنَ حَسَنـًا فـَهُوَ عِنـْدَ اللهِ حَسَنٌ
“Sesuatu yang dipandang baik oleh
umat islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
3.
Hasil
penelitian dari berbagai ayat dan hadist terhadap berbagai permasalahan yang
terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan
qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam
ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemashlahatan manusia. Oleh sebab
itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah
umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah
lain yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemashlahatan
umat manusia.
Dalam hal ini Imam al-Syathibi mengatakan bahwa kaidah
istihsan merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan hadist yang secara
keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini didukung oleh syara’.
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak
menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah:
1.
Hukum-hukum
syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan atau Sunnah) dan
pemahaman terhadap nash melaui kaidah qiyas. Istihsan
bukanlah nash dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luar nash dan
qiyas, maka hal itu berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang
tidak dicakup oleh nash dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini
tidak sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah, 75:36:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan
dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban).”
2. Sejumlah
ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan rasul-Nya
dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang
dihadapi manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-Qur’an dan Sunnah
sebagaimana yang dijumpai dalam surat al-Nisa, 4: 59:
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah persoalan itu kepada Allah dan Rasul-Nya….
Istihsan, menurut Imam Syafi’i tidak termasuk dalam
al-Qur’an dan Sunnah dan tidak pula metode yang dilandasi al-Qur’an atau
Sunnah.
3. Istihsan
adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh mennggalkan
nash dan qiyas dan mengambil dalil lain, maka hal ini berarti membolehkan
seseorang yang tidak bisa memahami nash atau qiyas menetapkan hukum berdasarkan
istihsan, karena mereka juga memiliki akal. Akibatnya, akan bermunculan
fatwa-fatwa hukum yang didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus
merupakan upaya pengabaian terhadap nash.
4. Rasulullah
saw. tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
5. Rasulullah
saw. telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada di daerah ketika mereka
menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
6. Istihsan
tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, tidak bisa pula dipertanggung jawabkan
secara syar’i sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Istihsan, menurut bahasa ialah mengembalikan sesuatu kepada yang baik.
Secara etimologi, istihsan berarti "menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu".
Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:
1.
Istihsan bi al-Nash (Istihsan berdasarkan ayat
atau hadist).
2.
Istihsan bi al-Ijma' (istihsan yang didasarkan
kepada ijma’).
3.
Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (istihsan
berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
4.
Istihsan bi al-Mashlahah (istihsan berdasarkan
kemaslahatan).
5.
Istihsan bi al-‘Urf (istihsan berdasarkan adat
kebiasaan yang berlaku umum).
6.
Istihsan bi al-dharurah (istihsan berdasarkan
keadaan darurat).
Istihsan pada dasarnya dibagi menjadi dua:
1.
Segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang masih terpakai.
Ini ada beberapa bagian: a)dari qiyas yang jelas menuju qiyas yang tidak jelas,
b)Dari ketentuan nash yang umum menuju hukum yang khusus, c)Dari hukum yang
umum kepada hukum pengecualian.
2. segi sandaran dasar istihsan,
a)dasar yang berupa qiyas, b)Dasar yang berupa nash, c)Dasar yang berupa
kebiasaan.
Terdapat perbedaan pendapat
ulama ushul fiqih dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil
dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyyah,
Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat
dalam menetapkan hukum syara’.
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak
menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.
DAFTAR PUSTAKA
·
Syekh Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih.
PT. Asdimahasatya. Jakarta: 2005.
·
H. Ahmad Abd. Madjid MA. Ushul Fiqih.
Garoeda Buana Indah. Jawa Timur: 1994.
·
Drs.H.
Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh I, Logos Publishing House. Ciputat:
1996.
· http://trimudilah.wordpress.com/2007/07/26/tentang-istihsan/
·
http://khabibi.wordpress.com/istihsan/
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?