Minggu, 15 April 2012

ISTIHSAN


BAB I
PENDAHULUAN




Sebagaimana maklum, Al Quran adalah sumber perundangan pertama, diikuti oleh As Sunnah (Al hadis). Sehubung dengan itu, Ijma' ulama' dan Al Qias juga diterima sebagai sumber perundangan yang tidak disepakati. Disamping itu, terdapat beberapa sumber lain yang bersifat dalil zanni. Diantaranya adalah kaedah istihsan. Ulama' berselisih pendapat dengan ta'rifan istihsan ini yaitu,:
a)      Al Hilwani dan Al Hanafi mengatakan istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih kuat. Hal ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya.
b)      Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi Al Hanafi pula, ia merupakan penetapan hokum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang menyimpang daripada ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yng sama disebabkan alas an yang lebih kukuh.
c)       Jumhur ulama' Usul menyatakan istihsan adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy (pengecualian)




















BAB II
PEMBAHASAN




A.    PENGERTIAN ISTIHSAN
Istihsan, menurut bahasa ialah mengembalikan sesuatu kepada yang baik[1]. Istihsan dapat juga diartikan:[2]
عَدَّ الشـَّـْئُ حَسَنـًا وَهُوَ مُشـْتـَقٌّ مِنَ الـْحَسَنِ
Artinya:
"Sesuatu yang dianggap bik, istilah itu berasal dari kata hasana yang berarti baik atau indah."

            Seperti firman Allah SWT:
فـَبـَشـِّرْ عِبَادِى الـَّذِيْنَ يَسْتـَمِعُوْنَ الـْقـَوْلَ فـَيـَتـَّبـِعُوْنَ أحْسَنـَهُ
Artinya:
"maka gembirakanlah hamba-hambaku yang mendengar perkataan, lalu mengikuti yang lebih baik daripadanya. (Azzumar 17-18)

            Di dalam hadist Rasul disebutkan:
مَا رَآهُ الـْمُسْلـِمُوْنَ حَسَنـًا فـَهُوَ عِنـْدَ اللهِ حَسَنٌ
Artinya:
"Apa-apa yang dianggap baik oleh orang-orang muslim maka dianggap satu hal yang baik di sisi Allah. (H.R. Ahmad).

            Sedangkan istihsan menurut isthilah ulama ushul ialah:
بـِأنـَّهُ الـْعُدُوْلُ بـِالـْمَسْألـَةِ عَنْ الـْحُكـْمِ نـَظـَائِرِهـَا إلـَى حُكـْمٍ آخـَرَ لِوَجْوٍ أقـْوَى مِنـْهُ
Artinya:
"istihhsan itu, berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya ke hukum lain karena adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat baik. (Imam Al-Karkha Hanafy).

Secara etimologi,[3] istihsan berarti "menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu". Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian etimologi., karena lafal yang seakar dengan istihsan banyak dijumpai dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.
            Di samping itu, para mujtahid juga sering menggunakan istihsan dalam pengertian etimologi ini, seperti ucapan Imam al-Syafi'i:
أسْتـَحْسِنُ فـِى الـْمُتـْعَةِ أيْ الهَدِيـَّةِ بَعْدَ الطـَّلـَاقِ أنْ تـَكـُوْنَ ثـَلـَاثـَةِ أيـَّامٍ
"Saya menganggap baik memberikan hak syuf'ah baik al-syafi' sampai tiga hari".

            Secara terminology Imam al-Bazdawi (400-482 H/1010-1079 M; Ahli ushul fiqh Hanafi), mendifinisikan istihsan dengan
العُدُوْلُ مِنْ مُوْجـِبِ قِيـَاسٍ إلـَى قِيـَاسٍ أقـْوَى مِنـْهُ أوْ هُوَ تـَخـْصِيْصُ قِيَاسٍ بـِدَلِيْلٍ أقـْوَى مِنـْهُ
"Berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat".

            Imam al-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M, ahli ushul fiqh Hanafi), mengatakan:
الإسْتِحْسَانُ هُوَ تـَرْكُ الـْقِيَاسٍ وَ الـْعَمَلُ بـِمَا هُوَ أقـْوَى مِنـْهُ لِدَلِيْلٍ يَقـْضِى ذالِكَ وِفـْقـًا لِمَصْلـَحَةِ النـَّاسِ
"Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang mengkehendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia".
            Imam Malik sebagaimana dinukilkan Imam Syathibi (w. 790 H), ahli ushul fiqh Maliki), mendefinisikan istihsan dengan:
الأخـْذُ بـِمَصْلـَحَةٍ جُزْئـِيـَّةٍ فـِى مُقـَابَلـَةِ دَلـِيْلٍ كـُلـَّيٍّ
"Memberlakukan kemaslahatan juz'i ketika berhadapan dengan kaidah umum".



B.     MACAM-MACAM ISTIHSAN[4]
            Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:
1.      Istihsan bi al-Nash/الإستحسان بالنص (Istihsan berdasarkan ayat atau hadist).
Maksudnya, ada ayat atau hadist tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap laig, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini dikecualikan melalui firman Allah dalam surat an-Nisa, 4: 11:
….setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang…..

Berdasarkan ayat ini, kaidah umum itu tidak berlaku untuk masalah wasiat. misal istihsan dengan Sunnah rasul adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang puasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadist Rasulullah saw. yang mengatakan:
مَنْ أكـَلَ أوْ شـَرِبَ نـَاسِيًا فـَلاَ يـُفـْطِرْ فـَإنـَّمَا هُوَ رِزْقٌ رَزَقـَهُ الله ُ
“Siapa yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya.” (H.R. al-Tirmidzi)



2.      Istihsan bi al-Ijma'/الإستحسان بالإجماع (istihsan yang didasarkan kepada ijma’).
 Misalnya adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.

3.      Istihsan bi al-qiyas al-khafiy/الإستحسان بالقياس الخفى (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian, menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas al-khafiy (qiyas yang tersembunyi) wakaf itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari wakaf adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian tersebut, seperti hak melewati lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian tersebut, termasuk ke dalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalan akad. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas al-khafiy), maka ia disebut berdalil dengan istihsan.

4.      Istihsan bi al-Mashlahah/الإستحسان بالمصلحة(istihsan berdasarkan kemaslahatan).
Misalnya, ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduk pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, Karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggungjawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk pabrik itu, baik disengaja maupun tidak.
Ulama Malikiyyah mencontohkannya dengan kebolehan dokter melihat aurat  wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum (qiyas), seseoran dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya, maka untuk kemaslahatan diri orang itu, menurut kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.

5.      Istihsan bi al-‘Urf/الإستحسان بالعرف(istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’ nomor dua di atas, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak air dan lama pemandian itu digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.

6.      Istihsan bi al-dharurah/الإستحسان بالضرورية(istihsan berdasarkan keadaan darurat).
Artinya, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari  sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air, sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi, ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa gallon air ke dalam sumur itu, karena keadaan darurat yang menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.



C.    PEMBAGIAN ISTIHSAN[5]
            Istihsan pada dasarnya dibagi menjadi dua:
1.      Segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang masih terpakai.
Ini ada beberapa bagian:
a.       dari qiyas yang jelas menuju qiyas yang tidak jelas. Contoh; menurut qiyas hak pengairan dan lalu lintas yang ada dalam tanah pertanian yang diwaqafkan, tidak ikut diwaqafkan, apabila tidak disebutkan tegas-tegas. Tetapi menurut istihsan dapat masuk diwaqafkan. Menurut qiyas yang jelas, waqaf tersebut dipersamakan dengan jual beli karena persamaan tujuan yaitu mengeluarkan hak milik atas sesuatu dari orang yang mempunyainya. Dalam jual beli hak pengairan dan lalu lintas tidak termasuk. Demikian dalam masalah waqaf.
Akan tetapi menurut qiyas yang tidak jelas, waqaf tersebut disamakan dengan sewa-menyewa karena tujuan sama yaitu, mengambil manfaat barang bukan miliknya sendiri. Dalam menyewakan tanah pertanian, hak pengairan dan lalu lintas termasuk meskipun tidak disebutkan. Demikian pula dalam waqaf.
Meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas dan mengambil ketentuan qiyas yang tidak jelas, seperti dalam contoh di atas, dinamakan istihsan. Dasar peninggalan ini ialah pengambilan manfaat dari barang waqafan.
b.      Dari ketentuan nash yang umum menuju hukum yang khusus;
Sebagai contoh ialah pengecualian hukuman potongan tangan pencuri dari ketentuan ayat 38 surat al-maidah yang menyatakan adanya hukuman tersebut apabila pencurian tersebut dilakukan dalam musim kelaparan/paceklit sebagaimana yang pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab ra. (Lihat Manhajj Umar Fittasyri'il Islamy oleh Dr. Muhammad Bultaji hal. 225-245) dan Umar bin Khattab Waushulussiyasatil Haditsh oleh Dr. Sulaiman Aththamawi hal. 201)
c.       Dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian; misalnya; orang yang titipi sesuatu barang, sesudah meninggalkannya, harus menggantinya, apabila ia melalaikan pemeliharaan barang tersebut. Dari segi istihsan seorang ayah tidak diwajibkan menggantinya karena ia bisa menggunakan harta benda anaknya untuk biaya hidupnya (anak) atau untuk dagang, yang boleh jadi bisa mengalami kerugian.

2.      segi sandaran dasar istihsan
a.       dasar yang berupa qiyas, seperti contoh di atas.
b.      Dasar yang berupa nash; seperti larangan menjual barang yang tidak/belum ada yang dikeluarkan Nabi saw. Akan tetapi ia memperbolehkan Salam (jual buah tanaman sebelum masa mengetamnya.
c.       Dasar yang berupa kebiasaan; seperti pesan pakaian yang seharusnya tidak sah, karena barangnya belum ada. Akan tetapi menurut istihsan, diperbolehkan sebab perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan.



D.    KEHUJJAHAN ISTIHSAN[6]
            Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’.
            Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
1.      Ayat-ayat yang mengacu kepada pengangkatan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-baqarah, 2: 185:

….Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu…
2.      Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
مَا رَآهُ الـْمُسْلـِمُوْنَ حَسَنـًا فـَهُوَ عِنـْدَ اللهِ حَسَنٌ
 “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
3.      Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadist terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemashlahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemashlahatan umat manusia.

Dalam hal ini Imam al-Syathibi mengatakan bahwa kaidah istihsan merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan hadist yang secara keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini didukung oleh syara’.
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah:
1.      Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan atau Sunnah) dan pemahaman terhadap nash melaui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luar nash dan qiyas, maka hal itu berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nash dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini tidak sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah, 75:36:
 “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban).”
2.      Sejumlah ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan rasul-Nya dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang dihadapi manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dijumpai dalam surat al-Nisa, 4: 59:
 “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah persoalan itu kepada Allah dan Rasul-Nya….

Istihsan, menurut Imam Syafi’i tidak termasuk dalam al-Qur’an dan Sunnah dan tidak pula metode yang dilandasi al-Qur’an atau Sunnah.
3.      Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh mennggalkan nash dan qiyas dan mengambil dalil lain, maka hal ini berarti membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nash atau qiyas menetapkan hukum berdasarkan istihsan, karena mereka juga memiliki akal. Akibatnya, akan bermunculan fatwa-fatwa hukum yang didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus merupakan upaya pengabaian terhadap nash.
4.      Rasulullah saw. tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
5.      Rasulullah saw. telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada di daerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
6.      Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, tidak bisa pula dipertanggung jawabkan secara syar’i sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.










BAB III
PENUTUP




KESIMPULAN
Istihsan, menurut bahasa ialah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Secara etimologi, istihsan berarti "menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu".
Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:
1.      Istihsan bi al-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadist).
2.      Istihsan bi al-Ijma' (istihsan yang didasarkan kepada ijma’).
3.      Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
4.      Istihsan bi al-Mashlahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
5.      Istihsan bi al-‘Urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
6.      Istihsan bi al-dharurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).
Istihsan pada dasarnya dibagi menjadi dua:
1.      Segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang masih terpakai. Ini ada beberapa bagian: a)dari qiyas yang jelas menuju qiyas yang tidak jelas, b)Dari ketentuan nash yang umum menuju hukum yang khusus, c)Dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian.
2.      segi sandaran dasar istihsan, a)dasar yang berupa qiyas, b)Dasar yang berupa nash, c)Dasar yang berupa kebiasaan.
            Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’.
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.


(Muhammad Qamaruddin)


DAFTAR PUSTAKA




·         Syekh Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. PT. Asdimahasatya. Jakarta: 2005.
·         H. Ahmad Abd. Madjid MA. Ushul Fiqih. Garoeda Buana Indah. Jawa Timur: 1994.
·         Drs.H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh I, Logos Publishing House. Ciputat: 1996.

·         http://trimudilah.wordpress.com/2007/07/26/tentang-istihsan/

·         http://khabibi.wordpress.com/istihsan/





[1] Syekh Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. PT. Asdimahasatya. Jakarta: 2005. hal. 93
[2] H. Ahmad Abd. Madjid MA. Ushul Fiqih. Garoeda Buana Indah. Jawa Timur: 1994. hal 102-103
[3] Drs.H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh I, Logos Publishing House. Ciputat: 1996. hal. 102-103
[4] Ibid. hal 105-108
[5] H. Ahmad Abd. Madjid MA. Ushul Fiqih. Garoeda Buana Indah. Jawa Timur: 1994. hal 106-108
[6] Drs.H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh I, Logos Publishing House. Ciputat: 1996. hal. 108-111

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?