BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa semata. Oleh karena itu, maka akan membahas tentang beberapa produk terkait dengan perbankan syariah. Di antaranya adalah murabahah, ijarah, dan ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT).
BAB II
PEMBAHASAN MURABAHAH
1. DEFINISI JUAL-BELI MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Secara istilah, ada banyak definisi yang muncul di antaranya:
1. Murabahah adalah menyebutkan harga pokok barang si pembeli dengan harapan agar si pembeli memberikan keuntungan kepada si penjual.
2. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati
3. Murabahah adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Sedangkan para ulama kontemporer dan peneliti ekonomi islam memberikan sedikit definisi yang berbeda. Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:
1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Nama lain Jual Beli Murabahah di antaranya, al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’, al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’, Bai’ al-Muwa’adah, al-Murabahah al-Mashrafiyah, al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah. Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP)
2. LANDASAN HUKUM
1. Al-Qur’an
“dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (aL-Baqarah [2]:275)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…” (an-Nisa [4]:29)
2. Al-Hadits
Dari Suhaib ar-Rumi r.a bahwa Rosululloh SAW bersabda “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah)
3. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
· Nomor 4/ DSN-MUI IV/ 2000 tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah,
· Nomor 13/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah,
· Nomor 16/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Diskon Dalam Murabahah,
· Nomor 17/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, dan
Nomor 23/ DSN-MUI/ III/ 2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah.
Nomor 23/ DSN-MUI/ III/ 2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah.
Berdasarkan fatwa-fatwa tersebut, Bank Indonesia mengatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia atau Surat Edaran Bank Indonesia, seperti tentang kolektibilitas dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia (PAPSI). Sesuai UU No.10/1998 tentang perubahan UU No.7 tentang Perbankan dalam penjelasan pasal 6 huruf m dijelaskan bahwa yang mempunyai kewenangan untuk mengatur kegiatan usaha Bank Syari’ah adalah Bank Indonesia.
Berdasarkan fatwa-fatwa tersebut, Bank Indonesia mengatur lebih lanjut dalam bentuk Sedangkan aturan-aturan tentang murabahah tercantum dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.4/DSN-MUI/IV/2000 yaitu (DSN, 2000:25-29)
Tentang :Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah, Ketentuan Murabahah kepada Nasabah, aminan dalam Murabahah, Hutang dalam Murabahah, Penundaan Pembayaran dalam Murabahah, Bangkrut dalam Murabahah11
Tentang :Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah, Ketentuan Murabahah kepada Nasabah, aminan dalam Murabahah, Hutang dalam Murabahah, Penundaan Pembayaran dalam Murabahah, Bangkrut dalam Murabahah11
3. BENTUK GAMBARAN MURABAHAH DALAM PRAKTEK
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.
2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
· Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
· Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
4. OPERASIONAL MURABAHAH
Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama.
Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll.)/bukan uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumen.
1. Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah.
2. Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam. Dalam hal ini belum tentu ada barangnya.
3. Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga.
BAB III
PEMBAHASAN IJARAH
A. PENGERTIAN IJARAH (UPAH)
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasannya semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang tersebut. Hukum sewa juga diberlakukan atas sapi, domba atau unta untuk diambil susunya. Akad sewa mengharuskan penggunaan manfaat dan bukan barang itu sendiri.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewakan berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awwadhah timbal balik.
Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’I berpendapat ijarah berarti upah mengupah.[1] Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja dipabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu”.
B. LANDASAN HUKUM
Allah swt berfirman :
· “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thaalaq: 6).
· “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang peling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS Al-Qashash: 26).
· “Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”(QS Al-Kahfi: 77).
· Dari Aisyah ra, dia berkata “Nabi saw bersama Abu Bakar ra pernah mengupah seorang laki-laki dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan yang mahir. Al-Khirrit ialah penunjuk jalan yang mahir.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1409 dan Fathul Bari IV: 442 no: 2263).
C. RUKUN, SYARAT, BERAKHIRNYA AKAD, DAN OBJEK IJARAH
Rukunnya:
1. Mu’jar ( Orang / barang yang diupah/disewa).
2. Musta’jir ( Orang yang menyewa/ mengupah)
3. Shighot ( Ijab dan qobul).
4. Upah dan manfaat.
Syaratnya:
- Baik Mu’jar atau musta’jir harus balig dan berakal.
- Musta’jir harus benar-benar memiliki barang yang disewakan itu atau mendapatkan wilayah untuk menyewakan barang itu.
- Kedua pihak harus sama-sama ridho menjalankan akad.
- Manfaat yang disewakan harus jelas keadaannya maupun lama penyewaannya sehingga tidak menimbulkan persengketaan.
- Manfaat atau imbalan sewa harus dapat dipenuhi secara nyata dan secara syar’i. Misalnya tidak diperbolehkan menyewakan mobil yang dicuri orang atau perempuan haid untuk menyapu masjid.
- Manfaat yang dapat dinikmati dari sewa harus halal atau mubah karena ada kaidah ” menyewakan sesuatu untuk kemaksiatan adalah haram hukumnya”.
- Pekerjaan yang diupahkan itu tidak merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang diupah sebelum terjadinya akad seperti menyewa orang untuk sholat.
- Orang yang diupah tidak boleh menikmati manfaat karena pekerjaannya. Tidak boleh pengupahan (ijaroh) terhadap amalan-amalan thoat.
- Upah harus berupah harta yang secara syar’i bernilai.
- Barang yang disewakan tidak cacat yang dapat merugikan pihak penyewa..
Berakhirnya akad ijaroh :
1. Salah satu pihak meninggal dunia (Hanafi); jika barang yang disewakan itu berupa hewan maka kematiannya mengakhiri akad ijaroh (Jumhur).
2. Kedua pihak membatalkan akad dengan iqolah.
3. Barang yang disewakan hancur atau rusak.
4. Masa berlakunya akad telah selesai.
D. FITUR DAN MEKANISME IJARAH
1. Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan mengakhiri akad Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
2. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
a. menyediakan objek ijarah yang disewakan;
b. menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah;
c. menjamin objek ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
3. Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
a. menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
b. menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
4. Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
a. membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
b. mengembalikan objek iajrah apabila tidak mampu membayar sewa;
c. menjaga dan menggunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;
d. tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain.
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan, antara lain:
a. objek ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
b. manfaat objek ijarah harus dapat dinilai;
c. manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
d. pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan);
e. manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas;
f. spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.
E. SIFAT DAN HUKUM AKAD IJARAH
Para ulama Fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.
F. APLIKASI IJARAH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukanleasing, baik dalam bentuk operting lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
BAB IV
PEMBAHASAN IJARAH MUNTAHIYA BIT TAMLIK (IMBT)
A. PENGERTIAN
Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan ada adalah sebuah istilah modern yang tidak terdapat dikalangan fuqaha terdahulu.
Definisinya: Istilah ini tersusun dari dua kata;
1. at-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa)
2. at-tamliik (kepemilikan)
Kita akan mendefinisikan dua kata tersebut, setelah itu kita akan definisikan akad ini secara keseluruhannya.
Pertama: at-ta’jiir menurut bahasa; diambil dari kata al-ajr ,yaitu imbalan atas sebuah pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala.Adapun al-ijaaroh: nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan
Sedangkan al-ijaaroh dalam istilah para ulama ialah suatu akad yang mendatangkan manfaat yang jelas lagi mubah berupa suatu dzat yang ditentukan ataupun yang disifati dalam sebuah tanggungan, atau akad terhadap pekerjaan yang jelas dengan imbalan yang jelas serta tempo waktu yang jelas.
Kita simpulkan bahwa al-ijaaroh atau akad sewa terbagi menjadi dua:
1. sewa barang
2. sewa pekerjaan
Kedua: at-tamliik secara bahasa bermakna: menjadikan orang lain memiliki sesuatu.Adapun menurut istilah ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa.
Dan at-tamliik bisa berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan ganti atau tidak.
Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini adalah jual beli. Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti maka disebut persewaan. Jika kepemilikan terhadap sesuatu tanpa adanya ganti maka ini adalah hibah/pemberian. Adapun jika kepemilikan terhadap suatu manfaat tanpa adanya ganti maka disebut pinjaman.
Ketiga: definisi “al ijarah al muntahia bit tamlik” (persewaan yang berujung kepada kepemilikan) yang terdiri dari dua kata adalah; kepemilikan suatu manfaat (jasa) berupa barang yang jelas dalam tempo waktu yang jelas, diikuti dengan adanya pemberian kepemilikan suatu barang yang bersifat khusus dengan adanya ganti yang jelas.
B. LANDASAN HUKUM
Dasar hukum negara:
Undang-undang No.10/1998 tentang Perbankan :
· Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah wajib dikembalikan disertai imbalan (prinsip ijarah) (pasal 1.12);
· Prinsip syariah dalam pembiayaan barang modal dapat dilakukan dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari Bank oleh Nasabah (pasal 1.13).
· Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR 12 Maret 1998 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah : Bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam menyalurkan dana antara lain melalui transaksi jual beliberdasarkan prinsip ijarah (pasal 28).
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 27/DSN-MUI/III/2002 28 Maret 2002:
· harus laksanakan akad ijarah dulu;
· akad pemindahan kepemilikan (jual beli/hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No.59 :
· objek sewa dikeluarkan dari aktiva pemilik objek sewa pada saat terjadinya perpindahan hak milik objek sewa;
· perpindahan hak milik objek sewa diakui jika seluruh pembayaran sewa telah di selesaikan dan penyewa membeli/menerima hibah dari pemilik objek sewa.
C. PRINSIP IMBT
Transaksi IMBT dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna) yang nantinya akan terjadi perpindahan kepemilikan (hak milik) bisa melalui akad hibah, atau melaui akad jual beli. IMBT bertujuan untuk mengatasi permasalahan kontemporer yang semakin banyak. Permasalahan tersebut diantaranya adalah bagaimana seorang nasabah dapat memiliki benda yang sangat dibutuhkannya dengan cara menyicil dengan cara yang dibenarkan oleh syariat.
D. BENTUK-BENTUK IMBT
1. Ijarah dengan janji akan menjual pada akhir masa sewa
Pilihan untuk menjual barang di akhir massa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir masa periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan bank. Karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang tersebut di akhir periode.
2. Ijarah dengan janji untuk memberikan hibah pada akhir masa sewa
Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.
E. POSISI BANK DALAM IMBT
Dalam IMBT bank bertindak selaku pihak yang menyewakan dalam akad pertama dan selaku pemeberi hibah atau penjual dalam akad kedua. Sedangkan nasabah bertindak selaku penyewa pada tahap pertama dan selaku penerima hibah/pembeli pada akad kedua.
· Hal itu karena akad ijarah dan akad hibah / jual beli tidak bisa digabungkan pada waktu, asset dan pihak yang sama
1. Tahapan IMBT di Bank Syariah
· Nasabah menejelaskan kepada bank bahwa suatu saat di tengah atau di akhir periode ijarah ia ingin memiliki
· Setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewakan asset itu kepada nasabah
· Apabila bank setuju, bank terlebih dahulu memiliki aset tersebut
· Bank membeli atau menyewa aset yang dibutuhkan nasabah
· Bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu dan menyerahkan asset itu untuk dimanfaatkan
· Nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan
· Bank melakukan penyusutan terhadap asset. Biaya penyusutan dibebankan kepada laporan laba rugi
· Di tengah atau di akhir masa sewa, bank dan nasabah dapat melakukan pemindahan kepemilikan asset tersebut secara jual beli cicilan
· Jika pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa, akadnya dilakukan secara nisbah.
· Persyaratan dokumen yang harus dipenuhi untuk aplikasi ”Baiti Jannati” (Bank Muamalat)
F. PROSPEK, KENDALA DAN STRATEGI PENYALURAN DANA IMBT
Kendala bagi sebagian besar Bank Syariah yakni rumitnya mekanisme IMBT, oleh karena itu, kebanyakan dari Bank Syariah lebih memilih menggunakan akad Murabahah. Walaupun kebanyakan Bank tidak memilih akad ini, tetap saja ada bank yang menggunakan akad ini, contohnya Bank Muamalat.
Prospek bagi bank yang menggunakan akad IMBT ini yakni Bank Muamalat, meskipun kebanyakan bank tidak memakai akad ini, adalah karena Bank Muamalat melihat keunggulan dari IMBT yang dapat merubah biaya sewa (maks. Tiap 2 thn), sedang dalam murabahah yang mudah prosesnya, akan tetapi tidak dapat berubah harga jualnya di tengah terjadinya fluktuasi harga.
Strategi bagi Bank Syariah, ialah bank memperhatikan dan mempertimbangkan pengajuan pembiayaan nasabah dengan seksama agar nasabah yang menerima pembiayaan benar-benar capable dan bankable.
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Secara istilah, ada banyak definisi yang muncul di antaranya yaitu, murabahah adalah menyebutkan harga pokok barang si pembeli dengan harapan agar si pembeli memberikan keuntungan kepada si penjual.
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat). Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.
Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan ada adalah sebuah istilah modern yang tidak terdapat dikalangan fuqaha terdahulu. Definisinya: Istilah ini tersusun dari dua kata; at-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa) dan at-tamliik (kepemilikan)
(Muhammad Qamaruddin)
DAFTAR PUSTAKA
· Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Yariah: dari teori ke praktik. Jakarta : Tazkia Cendekia
· Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, edisi revisi tahun 2006 M, cetakan ketiga tahun 1427 H.
· Karim, Adiwarman A. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqh dan keuangan. Jakarta: Rajawali press
· Sjahdeini, Sutan Remi. 2007. Perbankan islam: dan kedudukannya dalam tata hukum perbankan Indonesia. Jakarta: Frafiti
· http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/pembiayaan-ijarah-di-bank-syariah
· http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/pembiayaan-ijarah-di-bank-syariah
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?