Pendahuluan
Istilah dan Pengertian Kontrak
Istilah perancangan kontrak dari istilah bahasa inggris, yaitu contract drafting. Dalam kamus bahasa indonesia perancangan adalah proses, cara, atau perbuatan merancang. Kontrak adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat diberikan definisi dari perancangan kontrak. Perancangan kontrak merupakan proses atau cara untuk merancang kontrak. Merancang kontrak adalah mengatur dan merencanakan struktur, anatomi, dan substansi kontrak yang dibuatu oleh para pihak.
Dalam KUH Perdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ( pasal 1313 KUHPdt). Definisi ini oleh J Satrio dan Purwahid Patrik dianggap mempunyai banyak kelemahan antara lain oleh karena :
- hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
- kata perbuatan terlalu luas karena dapat merupakan perbuatan tanpa kesepakatan, perbuatan melawan hukum dan perbuatan bukan perbuatan hukum
Dan jika kita amati lebih lanjut maka dapatlah kita simpulkan bahwa KUHPdt sama sekali tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi ( bisa memakan waktu dan biaya yang bervariasi ).
KUHPdt hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).
Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat ”Memorandum of Understanding” ( MOU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.
Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut ganti rugi dalam tahap prakontrak.
Dalam hal ini timbul banyak masalah hukum yang harus kita renungkan lebih dalam lagi bagi perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia yaitu kapan terjadinya situasi yang disebut kondisi ”negosiasi prakontraktual”, tolok ukur penghentian negosiasi yang disebut memenuhi unsur itikad buruk sehiggga menimbulkan unsur tanggung jawab, dan lain-lain.
- hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
- kata perbuatan terlalu luas karena dapat merupakan perbuatan tanpa kesepakatan, perbuatan melawan hukum dan perbuatan bukan perbuatan hukum
Dan jika kita amati lebih lanjut maka dapatlah kita simpulkan bahwa KUHPdt sama sekali tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi ( bisa memakan waktu dan biaya yang bervariasi ).
KUHPdt hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).
Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat ”Memorandum of Understanding” ( MOU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.
Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut ganti rugi dalam tahap prakontrak.
Dalam hal ini timbul banyak masalah hukum yang harus kita renungkan lebih dalam lagi bagi perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia yaitu kapan terjadinya situasi yang disebut kondisi ”negosiasi prakontraktual”, tolok ukur penghentian negosiasi yang disebut memenuhi unsur itikad buruk sehiggga menimbulkan unsur tanggung jawab, dan lain-lain.
Pembahasan
Asas – asas hukum dalam kontrak
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya. Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Dari definisi tersebut apabila dikaitkan dengan perjanjian dalam hukum kontrak syariah adalah, kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum kontrak syari’ah.
Dalam hukum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tersebut diklasifikasikan menjadi asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus. Adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum adalah:
Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid (57): 4 yang artinya ”Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT.
Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”.28 Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadis berikut ini:
Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.
Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang.
berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Asas Keadilan (Al ‘Adalah)
Dalam QS. Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al A’raf (7): 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.
Asas Persamaan Atau Kesetaraan
Hubungan mu’amalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seringkali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan.32 Tidak diperbolehkan terdapat kezaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasar perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Dalam QS.al-Hujurat (49): 13 disebutkan yang artinya ”Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”
Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.33 QS.al-Ahzab (33): 70 disebutkan yang artinya, ”Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.
Asas Tertulis (Al Kitabah)
Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan. Dalam QS.al-Baqarah (2); 282- 283 dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.
Asas Iktikad baik (Asas Kepercayaan)
Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi, ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian.
Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis. Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal. Sebagaimana para filosof Islam di masa lampau seperti al-Ghazali (w.505/1111) dan asy-Syatibi (w 790/1388) merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis sebagai mewujudkan kemaslahatan. Dengan maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan pokok manusia yaitu melindungi religiusitas, jiwa-raga, akal-pikiran, martabat diri dan keluarga, serta harta kekayaan.
Di dalam buku III KUH Perdata dikenal lima macam asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. Dari kelima hukum tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perancangan kontrak adalah asas kebebasan berkontrak dan asas kepastian hukum.
Sumber – sumber hukum perancangan kontrak
Sumber hukum perancangan kontrak yang berasal dari peraturann perundang – undangan, disajikan sebagai berikut :
a. Buku III KUH Perdata
Sistem pengaturan Buku III KUH Perdata adalah sistem terbuka ( open Sistem ). Artinya, setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur didalam undang – undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:” Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlakusebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk :
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian
2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
3) Menetukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratnnya
4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis lisan
b. Buku IV KUH Perdata tentang Pembuktian dan Daluarsa
Terdapat pasal 2 yang mengatur tetnag perancangan kontrak, yaitu dari pasal 1865 s.d Pasal 1894 KUH Perdata. Pasal – pasal itu merupakan pasar yang berkaitan dengan pembuktian dengan tertulis
Unsur – unsur perjanjian menurut teori lama sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan hukum
2. Persesuaianpernyataan kehendak dari beberapa orang
3. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan
4. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerja ssama antara dua ornag atau lebih
5. Pernyataan kehendak yang sesuai itu harus saling bergantung satu sama lain
6. Kehendak ituditujukan untuk menimbulkan akibat hukum
7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik
8. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan perundang – undangan.
Unsur – unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi dapat disebut kontrak,, ada tiga unsur yaitu :
1. Adanya kesepakatan tentang fakta antara dua pihak
2. Persetujuan dibuat secar tertuli
3. Adanya orang yang berhak dan berkewajiban untuk membuat kesepakatan dan perjanjian tertulis
Syarat – syarat sahnya kontrak
Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2. Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.
Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.
Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
4. Sebab yang dibolehkan
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.
KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis.
Syarat pertama sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak yang terdapat dalam KUH Perdata (civil law)dan hukum kontrak amerika.
1. Menurut KUH Perdata ( civil law)
dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW ( BW baru ) Belanda. Pasal 1320 KUH Perdata menetukan empat syarat sahhnya perjanjian, yaitu (1) adanya kesepakatan kedua n\belah pihak, (2) kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, (3) adanya objek, dan (4)adanya kausa yang halal. Keempat hal itu dikemukakan berikut ini.
a. Kesepakatan ( Toesteming/Izin ) kedua belah pihak
Syarat pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu
b. Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang – orang yang melakukan perjanjian adalah orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang – undang. Orang yang cakap wewenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.
c. Adanya objek perjanjian
Yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi ( pokok perjanjian ). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditor ( Yahya Harahap, 1986:10;Mertokusumo, 1987:36) Prestasi itu terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif. Prestasi terdiri dari: (1) memberika sesuatau, (2) berbuat sesuatu, dan (3) tidak berbuat sesuatu. Ambil contoh jual beli rumah. Ynag menjadi prestasi/ pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah itu dan menyerahkan uang harga dsri pembelian rumah itu.
d. Adanya Kausa yang Halal
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian kontrak orzaak ( kausa yang halal ) hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatau sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang – undang, kesussilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad tahun 2007 mengartikan orzaak sebagai suatu yang menjadi tujuan para pihak. Contoh, A menjual sepeda motor kepada B , namun sepeda motor yang dijual oleh A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai tujuan dari pihak B, karena B menginginkan barang yang dibelinya itu barang yang sah.
Bentuk – Bentuk Kontrak
Bentuk kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan
Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Adapun Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan ( cukup kesepakatan para pihak ). Ada dua bentuk perjanjian tertulis , yaitu yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autetik.
Prinsip Prinsip Dalam Perancangan Kontrak
Yang dimaksud dengan prinsip – prinsip dalam perancangzn kontrak adalah dasar atau asas – asas yang harus diperhatikan dalam merancang kontrak. Erman rajaguguk menyatakan ada sepuluh prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu :
1) Penggunaan istilah
2) Prinsip kebebasan berkontrak
3) Prinsip penawaran dan penerimaan
4) Iktikad baik
5) Peralihan risiko
6) Ganti kerugian
7) Keadaan darurat
8) Alasan pemutusan
9) Pilihan hukum
10) Penyelesaian sengketa
Selain itu harus diperhatikan oleh para pihak adalah berkaitan dengan asas pacta sunt servanda ( asas kepastian hukum )
Faktor Yang Harus Diperhatikan dalam Perancangan Kontrak
Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para phak berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian kontrak yang dibuat oleh para pihak disamakan kekuatan mengikatnya dengan undang – undang. Oleh karena itu merancang suatu kontrak diperlukan ketelitian, kecermatan dari para pihak, baik dari pihak kreditor maupun debitur, pihak investor maupun dari pihak negara yang bersangkutan, perancangan kontrak maupun notaris.
Fakktor – faktor yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Kewenangan hukum para pihak
b. Perpajakan
c. Alas hak yang sah
d. Masalah keagrarian
e. Pilihan hukum
f. Penyelesaian sengketa
g. Pengakhiran kontrak
h. Bentuk perjanjian standar
Pra Perancangan Kontrak
Tahap praperancangan kontrak merupakan tahap sebelum kontrak dirancang dan disusun. Sebelum kontrak disusun , ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para pihak. Keempat hal terssebut meliputi ; identifikasi para pihak, penelitian awal aspek tertarik, pembuatan Mamorandum of Understanding ( M o U ) dan negosiasi,keempat hal tersebut yaitu:
1. Identifikasi Para Pihak
Tahap identifikasi para pihak merupakan tahap untuk menentukan dan menetapkan identitas para pihak yang mempunyai kewenangan hukum untuk membuat kontrak. Orang yang berwenang untuk membuat kontrak adalah orang yang sudah dewasa/ sudah kawin.Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun.
2. Penelitian Awal Aspek Terkait
Pada dasarnya, pihak – pihak berharap bahwa kontrak yang ditandatangani dapat menampung semua keinginannya sehingga apa yang menjadi hakikat kontrak benar – benar terperinci secara jelas. Perancangan kontrak harus menjelaskan hal – hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta alternatif lain yang munkin dapat dilakukan. Pada akhirnya penyusunan kontrak menyimpulkan hak dan kewajiban masing – masing pihak, memperhatikan hal terkait dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, serta perpajakan.
3. Pembuatan Mamorandum of Understanding ( MoU )
Merupakan nota kesepahaman yang dibuat oleh para pihak sebelum kontrak itu dibuat secara rinci. Mamorandum of Understanding ( MoU ) ini memuat berbagai kesepakatan para pihak dalam berbagai bidang, seperti dibidang investasi.
Tahap – tahap dalam Perancangan Kontrak
Hikamhanto menjelaskan ada tujuh tahap yang harus dilalui didalam perancangan kontrak meliputi :
1. Penawaran dan penerimaan
2. Kesepakatan para pihak
3. Pembuatan kontrak
4. Penelaahan kontrak
5. Negosiasi rancangan kontrak
6. Penandatangan kontrak
7. Pelaksanaan, dan
8. Sengketa
Pengaturan Hak dan Kewajiban ( Substansi Kontrak )
Pada dasarnya, substansi kontrak merupakan kehendak dan keinginan para pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, substansi kontrak diharapkan dapat mencakup keinginan – keinginan para pihak secara lengkap, termasuk didalamnya objek kontrak, hak, dan kewajiban para pihak dan lain – lain.
Contoh substansi Kontrak :
Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah ( KPR )
Dalam perjanjian kredit pemilik rumah initelah diatur tentang substansi perjanjian, seperti tentang objek perjanjian, hak, dan kewajiban dari debitur.
Dalam Pasal 1 perjanjiankredit rumah sudah ditentukan jumlah kredit yang diberikan kepada nasabah. Pasal 1 berbunyi :
1.Dengan penandatanganan perjanjian ini debitur telah menarik jumlah kredit maksimal sebesar Rp. 2500.000 dan dengan demikian sejak penandatanganan perjanjian kredit ini yang merupakan tanggal penarika kredit, debitur wajib untukmemenuhi kewajiban – kewajiban atas kreditnya sesuai dengan perjanjian ini.
Hal – hal yang dimuat dalam akta jual beli pada contoh pertama meliputi :
- Objeknya
- Hak dan kewajiban para pihak
Yang menjadi objek dalam akta jual beli atas sebidang tanah dari penjual kepada pembeli dan harga tanah tersebut. Yang menjadi hak dari penjual adalah menerima uang dari pembeli. Kewajibannya adalah menyerahkan tanah yang dijual kepada pembeli dan menanggung bahwa objek jual beli tidak dikenakan sitaan. Yang menjadi hak dari pembeli :
- Menerima tanah yang telah dibelinya
- Segala keuntungan yang diperoleh dari pembelian tanah tersebut
Kewajibannya adalah menyerahkan uang kepada penjual dan menanggung biaya peralihan hak atas tanah tersebut.
Kesimpulan
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai. Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prakontrak
a. Negosiasi;
b. Memorandum of Undersatnding (MoU);
c. Studi kelayakan;
d. Negosiasi (lanjutan).
2. Kontrak
a. Penulisan naskah awal;
b. Perbaikan naskah;
c. Penulisan naskah akhir;
d. Penandatanganan.
3. Pascakontrak
a. Pelaksanaan;
b. Penafsiran;
c. Penyelesaian sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.
Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.
Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis.
Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
(1) Judul;
(2) Pembukaan;
(3) Pihak-pihak;
(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);
(5) Isi;
(6) Penutupan.
Daftar Pustaka
Salim, H. SH, M.S.Abdullah, H. S.H ( Notaris )Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding ( MoU), Sinar Grafika, Jakarta
Miru Ahmadi, S.H.,M.S, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Disusun Oleh :
Yuyun Mahmudah
( 08423021 )
terimakasih tukisannya, izin saya copi, smg terus berkarya, menjadi ekonom muslim
BalasHapus