Jumat, 06 April 2012

MAKNA DARI SEBUAH MUSIBAH




“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 155)

            Waktu tanpa terasa terus berjalan. Maju tanpa pernah mundur. Bergerak tanpa mempedulikan sekelilingnya. Menerjang segala yang ada di hadapannya. Penjelmaan detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, hari menjadi bulan, bulan menjadi tahun, dan seterusnya. Renungkanlah! Waktu tidak akan pernah berhenti. Semua dari kita pasti setuju dengan pernyataan tersebut. Seperti yang termaktub dalam syair indah dari Arab, ‘waktu bagaikan pedang’. Libasannya akan mengenai siapa saja yang hanya duduk termangut tanpa berbuat sesuatu apapun yang memberikan manfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, untuk mendapatkan ridho Ilahi. Bersyukurlah orang-orang yang tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang telah diberikan Allah. Hidup tidak lebih dari satu kali. Oleh karena itu, sekali waktu tersia-siakan, maka akan menyesal selamanya.
            Dunia adalah tempat persinggahan. Di sinilah kita dituntut menyiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi. Nikmat dunia tak lebih dari sekedar secuil nikmat yang diturunkan Allah. Tak sebanding dengan nikmatnya di surga. Tapi anehnya, manusia merasa itulah nikmat yang paling indah. Sungguh kasihan sekali. tertipu oleh kenikmatan semu.
            Di balik itu semua, kehidupan manusia tetaplah atas kekuasaan Allah. Dengan nikmatlah Allah menguji hambanya, dan  dengan musibahlah pula Allah menguji hambanya. Pilihan bijak hanya ada satu untuk masing-masing di antaranya, syukur untuk kenikmatan dan sabar untuk segala musibah. Begitulah hidup, kadang enak, kadang merana. Seandainya boleh memilih, tentu manusia menginginkan hidup yang enak dan di akhirat kelak masuk surga. tapi nyatanya, hidup seenaknya membuat manusia jadi kelewatan batas.
Allah berkuasa untuk menjadikan seluruh umat manusia sebagai orang yang beriman. Namun Allah tidak akan melakukannya. Dia berikan manusia kebebasan untuk memilih dengan konsekuensi nyata, surga atau neraka. Di sisi lain, nikmat dan musibah akan selalu datang menyertai. Allah ingin mengetahui, mana yang benar-benar bertaqwa, dan mana yang hanya menyia-nyiakan waktunya di dunia. Cobaan adalah salah satu trik agar Allah mengetahui hal itu.
Musibah (cobaan, ujian) adalah hal yang mutlak akan didapatkan oleh semua orang dalam kehidupannya. Sama halnya dengan nikmat, musibah akan kita temui dalam alur cerita kehidupan kita. Bak sebuah roda pedati yang terus berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Begitulah posisi kita di dunia. Kadang berada di atas, mendapatkan kenikmatan; kadang berada di atas, mendapatkan musibah. Inilah cara Allah mengetahui kadar keimanan hamba-Nya.
Musibah dapat diartikan sebagai segala sesuatu atau kondisi yang tidak menyenangkan bagi seseorang secara fisik maupun mental, materi maupun non materi. Kita semua pasti pernah merasakannya. Dari hal yang kecil sampai ke hal  yang besar. Sakit, kelaparan, tak punya uang, mendapatkan bencana alam, kehilangan benda berharga, sampai kehilangan seseorang yang kita sayangi, semisalnya anak, istri, atau orang tua. Inilah yang dinamakan musibah. Lalu, apakah yang seharusnya kita lakukan sebagai seorang hamba Allah?

Manusia ketika Menghadapi Musibah
Pada dasarnya, cobaan yang diterima manusia tidak lepas dari tiga kondisi. Pertama, musibah sebagai sarana ujian untuk meningkatkan kualitas keimanan seseorang. Seorang mu’min sejati tidak akan pernah mengeluh terhadap sebuah musibah. Ia akan bersabar, walaupun akan terdapat kepedihan yang mendalam dari musibah tersebut. Seperti yang termaktub dalam ayat 155 surat al-Baqarah, Allah akan memberikan kabar yang gembira kepada siapa saja yang mampu bersabar ketika mendapatkan musibah. Bagi seorang mu’min sejati, musibah yang ia dapatkan adalah sebuah sarana untuk meningkatkan kualitas keimanannya.
            Nabi Ayyub AS adalah salah satu nabi yang paling berat mendapatkan ujian dalam hidupnya. Iblis yang ingin menjatuhkan keimanan sang nabi, membujuk Allah untuk memberikan musibah kepadanya. walhasil, nabi Ayyub mendapatkan musibah yang begitu berat. Seluruh anaknya meninggal. Harta kekayaannya habis. Badannya yang sehat digerogoti penyakit kulit. Orang-orang dan kerabat dekat menjauhinya. Bahkan istrinya pun meninggalkannya. lalu, apakah dengan semua itu keimanan Nabi Ayyub hilang dan iblis pun bisa tertawa? Ternyata tidak sama sekali. Nabi Ayyub memandang semua musibah yang didapat sebagai sarana bagi dia untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Ia tidak mau keimanan tersebut ada hanya atas dasar kekayaan yang dimiliki, kesehatan yang baik, anak-anak yang banyak, serta kenikmatan yang lain. ia membuktikan bahwa keimanannya kepada Allah adalah murni atas dasar cinta-Nya kepada Allah, bukan yang lain. pada akhirnya, Allah memberikan kembali segala kenikmatan yang didapatnya dahulu seperti sedia kala, dan iblis hanya bisa gigit jari.
            Penulis mengingatkan, tentunya kepada diri penulis sendiri, kita semua dapat menjadi nabi Ayyub-nabi Ayyub pada era modern ini. bersabarlah atas segala musibah, dan jadikanlah ia sebagai sarana meningkatkan kualitas keimanan yang kita miliki.
Kondisi yang kedua, musibah dijadikan Allah sebagai peringatan dan intropeksi diri atas berbagai kelalaian dan kemaksiatan yang dilakukan seorang mukmin.  Ketika musibah menimpa diri kita, mari mencoba untuk mengingat masa-masa yang telah dilalui. Apa yang telah kita perbuat? Apakah ada maksiat yang telah menodai kehidupan kita? Setelah itu, hubungkanlah dengan musibah yang menimpa, bisa jadi itu adalah peringatan dari Allah. dengan musibah, orang akan ingat. Dengan musibah, orang akan intropeksi diri. Dengan musibah lah, orang akan kembali memperbaiki kesalahan. Tuhan mengingatkan manusia. kelalaian bisa dilakukan, tapi alangkah mulianya apabila dapat memperbaikinya. Namun manusia juga kadang bisa lupa. Oleh karena itu, Allah memberikan musibah agar manusia kembali mengingat kesalahan dan kelalaian yang telah dilakukan di masa lalu. Sebaik-baiknya kesalahan adalah tidak mengulanginya lagi.
            Kondisi yang ketiga, musibah dijadikan sebagai sebuah adzab.Dalam kisah-kisah nabi terdahulu, begitu banyak ummat-ummat yang dihancurkan oleh Allah karena ingkar terhadap nabiNya. Salah satunya adalah kisah Ummat Nabi Nuh yang luluh lantak oleh banjir besar. tak ada yang tersisa kecuali orang-orang yang setia terhadap ajaran Nabi Nuh. Bahkan putera Nabi Nuh –darah dagingnya sendiri-  mati tenggelam oleh banjir tersebut. Nabi Nuh meminta kepada Allah agar menyelamatkan puteranya, tapi apa daya, Allah telah menetapkan ia sebagai orang yang ingkar terhadap perintahNya.
            Dewasa ini pun kita tentunya akan banyak mendapatkan kisah yang serupa. Selain sebagai contoh yang tidak seharusnya diikuti, musibah yang bernotabene sebagai adzab bisa menjadi peringatan bagi yang lain untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.

Sebuah kisah
            Dahulu kala, hiduplah seorang tabi’in. Imannya kuat. Ibadahnya tak pernah putus. Al-Qur’an menjadi kesehariannya. Islam menghiasi jiwanya. Hatinya selalu terikat kepada sang Pencipta. Dialah ‘Urwah bin Zubair’. Hingga pada suatu hari, Allah mentakdirkan salah satu kakinya harus diamputasi. Menyiasati agar ia tidak kesakitan sewaktu pemotongan, ditawarkanlah kepadanya arak. Namun ia menolak mentah-mentah hal itu.
            Setelah selesai pemotongan, dihadirkanlah kaki yang telah dipotong. Tiba-tiba menangislah Urwah bin Zubair. Timbullah prasangka buruk dari orang-orang di sekitarnya. Sampai salah seorang dari mereka berkata kepadanya, “Kami semula merasa bangga dengan ketegaran anda, tapi mengapa anda sekarang menangis?”. Beliau pun menjawab, “Demi Allah, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Bukanlah kehilangan satu kaki yang membuat saya menangis. Sungguh, kaki ini adalah milik Allah. justru yang membuat saya menangis adalah sebuah kekhawatiran. Apakah dengan satu kaki yang saya miliki sekarang, saya masih bisa beribadah dengan sempurna kepada Allah?”
            Musibah belum berhenti sampai di sana. Siangnya kaki beliau diamputasi, malamnya salah satu dari tujuh anaknya meninggal dunia. Ketika diberitahukan perihal kematian anaknya, beliau berkata, “Saya belum bisa bangkit dari pembaringan. Oleh karena itu, saya minta tolong, uruskan jenazahnya”. Sebelum dikuburkan, ia meminta agar jenazah anaknya diperlihatkan kepadanya. di hadapan wajah anaknya yang hanya diam membisu, ia berdoa kepada Allah seraya mengusap kepala anaknya, “Puji Syukur kepadaMu ya Allah, Engkau telah mengaruniakan saya tujuh anak. Semoga sebagai ayah mereka, saya sudah melaksanakan kewajiban untuk mendidik mereka ke jalan yang Engkau ridhoi. Ya Allah, pada saat ini, Engkau telah mengambil salah satu dari mereka. ambillah! Mereka milik-Mu ya Allah, bukan milik saya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Mudah-mudahan Engkau masih memberikan manfaat untuk enam orang anak yang tersisa”.

Penutup
Seorang mukmin yang tertimpa musibah, apapun bentuknya, akan mampu memandang bentuk musibah dengan penuh keimanan. Ia tetap bersyukur dan tidak mengeluh. Nyatanya, segala musibah yang didapat tidak sebanding dengan kenikmatan yang telah ia terima. Ia akan tetap menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah. baginya, setiap musibah pasti ada hikmah, walaupun pada saat itu ia belum menemukannya ”boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216). Wallahu A’lam bi al-shawwab.

Muhammad Qamaruddin
Santri PP UII
Mahasiswa Ekonomi Islam, FIAI UII

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?